Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

PPN Naik, Rakyat Tertindih: Ironi Pajak di Negeri Kaya Sumber Daya

397
×

PPN Naik, Rakyat Tertindih: Ironi Pajak di Negeri Kaya Sumber Daya

Share this article
Ilutastari beban UMKM dengan kenaikan pajak ppn 12% (ppm.doc)

Oleh Ainur Rofiq, Senior Aktifis PPM dan Tokoh Pergerakan Pemberdayaan Masyarakat Pusat Peranserta Masyarakat.

ppmindonesia.com, Bojonegoro, Tahun depan, pajak pertambahan nilai (PPN) akan naik dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini menjadi babak baru dalam kisah rakyat kecil yang terus digenjet pajak, dikejar layaknya bandit. Ironisnya, di saat rakyat harus menanggung beban berat ini, para pelaku usaha besar justru mendapatkan berbagai kemudahan dan kelonggaran.

Ketimpangan yang Mencolok

Negeri ini sudah lama menghadapi masalah tata kelola yang buruk. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah—dari tambang, hutan, hingga pasir laut—seharusnya menjadi berkah bagi seluruh rakyat. Namun kenyataannya, kekayaan itu justru menjadi rebutan segelintir elit, dirampas dengan leluasa oleh “bandit-bandit” yang berlindung di balik kebijakan pemerintah.

Korupsi menjadi budaya yang mengakar, melibatkan para pemimpin dan pengusaha besar. Para pengusaha gelap mendorong terjadinya korupsi untuk melindungi kepentingan mereka, sementara para pejabat memanfaatkan kekuasaan untuk “melegalkan” permainan besar ini.

Hukum, yang seharusnya menjadi alat keadilan, malah sering kali digunakan untuk mendukung praktik-praktik gelap. Negeri Pancasila ini, sayangnya, semakin menjauh dari nilai-nilai keadilan sosial yang diimpikannya.

Kebijakan yang Tidak Pro-Rakyat

Di tengah kondisi ini, kebijakan pajak yang diterapkan pemerintah semakin menunjukkan keberpihakannya pada kaum elit. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang sering disebut sebagai teknokrat beraliran neoliberal dan kapitalis ekstrem, berada di bawah sorotan.

Kebijakan pajaknya dinilai gagal melindungi kelas menengah dan rakyat kecil, sementara ribuan triliun tunggakan pajak para pengusaha besar masih belum tertagih hingga hari ini.

Kenaikan PPN menjadi salah satu contoh nyata. Alih-alih mengejar para pengemplang pajak besar, pemerintah justru membebani rakyat kecil dengan pajak tambahan. Akibatnya, daya beli masyarakat melemah, dan jurang ketimpangan sosial semakin menganga.

Sri Mulyani, Mundurkah?

Sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani mungkin pernah mendapatkan pengakuan internasional atas kebijakan fiskalnya. Namun di mata rakyat kecil, keberhasilannya patut dipertanyakan.

Bukankah seorang pemimpin harus mendahulukan kesejahteraan rakyatnya daripada melayani kepentingan pasar dan investor besar?

Seruan agar Sri Mulyani mundur bukanlah tanpa alasan. Kegagalannya menarik pajak dari pengusaha besar yang menunggak hingga ribuan triliun menunjukkan kelemahan tata kelola fiskal. Sebaliknya, kebijakan yang menargetkan rakyat kecil semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Ada Apa dengan Negeri Ini?

Pertanyaan besar yang perlu kita renungkan adalah: mengapa negara yang kaya sumber daya ini tidak mampu memakmurkan rakyatnya? Mengapa hukum lebih sering berpihak kepada yang kuat daripada yang benar?

Jawabannya mungkin terletak pada struktur kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat. Korupsi yang merajalela, tata kelola yang buruk, dan keberpihakan kebijakan kepada segelintir elit adalah akar masalah yang harus segera diatasi.

Jika negeri ini ingin keluar dari krisis kepercayaan, maka reformasi menyeluruh di semua lini menjadi keharusan. Pemerintah harus mulai dari keberpihakan yang jelas: menegakkan hukum tanpa pandang bulu, menarik pajak dari para pengusaha besar yang menunggak, dan menciptakan kebijakan yang benar-benar berpihak kepada rakyat.

Rakyat kecil tidak meminta belas kasihan, mereka hanya ingin keadilan. Dan keadilan itu dimulai dari pemerintah yang berani berpihak kepada yang lemah, bukan yang kuat. (ainur rofiq)

Example 120x600