Oleh: Achmadie Thaha, Ma’had Tadabur Al Quran, Alumni IAN Syarif Hidayatullah
ppmindonesia.com, Jakarta– Di tengah gegap gempita pembangunan mega proyek nasional, ironi besar menyembul di permukaan: kemegahan proyek-proyek ini sering kali berdiri di atas penderitaan rakyat kecil. Salah satu episodenya yang sedang berlangsung adalah perjuangan warga Teluknaga, Tangerang, melawan dampak Proyek Strategis Nasional Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2).
Dari Sawah dan Tambak ke Zona Emas
Teluknaga, kawasan yang dulunya dikenal dengan hamparan sawah dan tambak, kini berubah menjadi lahan rebutan. Lokasinya yang strategis di pesisir pantai, dekat dengan Jakarta, menjadikannya “zona emas” bagi korporasi besar. Namun, kemilau emas ini tidak untuk rakyatnya. Sebaliknya, mereka menghadapi kehilangan tanah leluhur mereka dengan harga yang jauh dari wajar—hanya Rp50.000 per meter persegi, lebih murah dari secangkir kopi di kafe.
Bagi warga, ini bukan sekadar penggusuran. Ini adalah “perampokan atas nama hukum,” sebagaimana dinyatakan oleh Muhammad Said Didu, tokoh yang kini berdiri di garda depan perlawanan. Dengan memanfaatkan media sosial sebagai senjata utama, Said Didu membawa isu ini ke tingkat nasional, memaksa banyak pihak untuk memperhatikan nasib warga Teluknaga.
Ketidakadilan yang Sistemik
Menurut investigasi yang dilakukan Said Didu, proses pembebasan lahan ini penuh dengan kejanggalan: intimidasi terhadap warga, minimnya transparansi, hingga kolaborasi erat antara aparat pemerintah dan korporasi. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru terlihat bertindak sebagai “centeng” korporasi.
Protes warga Teluknaga semakin intens ketika truk-truk tambang melintasi jalan desa mereka tanpa memperhatikan keselamatan penduduk dan dampak lingkungan. Upaya warga untuk menolak sering kali dijawab dengan pengerahan aparat lengkap dengan senjata pengurai massa.
Perlawanan yang Menginspirasi
Pada Senin, 19 November 2024, Said Didu dipanggil oleh kepolisian atas dugaan provokasi massa, berdasarkan laporan Ketua Apdesi Kabupaten Tangerang. Namun, panggilan ini justru memicu gelombang dukungan luar biasa. Tagar #BelaSaidDidu menggema di media sosial, dengan dukungan dari tokoh nasional seperti Mahfud MD, Din Syamsuddin, hingga aktivis HAM Natalius Pigai.
Mahfud MD bahkan secara terbuka menyebut langkah Said Didu sebagai bentuk perjuangan hak konstitusional rakyat. “Menyuarakan ketidakadilan adalah hak, bukan kejahatan,” tegas Mahfud, mengingatkan publik pada pidato Presiden Prabowo yang menekankan pentingnya kebebasan berpendapat.
Refleksi Sejarah: Melawan Kolonialisme Modern
Perjuangan warga Teluknaga dan Said Didu adalah refleksi perlawanan rakyat terhadap bentuk baru kolonialisme. Jika Pangeran Diponegoro di abad ke-19 melawan penjajah dengan senjata fisik, maka di abad ke-21 ini, perlawanan dilakukan dengan senjata modern berupa data, fakta, dan suara.
Pertanyaannya kini: kita berada di pihak mana? Di pihak oligarki yang terus memperkaya diri di atas penderitaan rakyat, atau bersama warga kecil yang menuntut keadilan?
Mengambil Sikap
Sejarah telah membuktikan bahwa ketidakadilan selalu melahirkan perlawanan. Kasus Teluknaga bukan hanya tentang tanah atau proyek nasional, tetapi juga tentang mempertahankan hak dan martabat rakyat kecil. Bagi kita yang menyaksikan, saatnya menentukan sikap. Sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di sisi keadilan dan siapa yang memilih untuk diam. (achmadie thaha)