Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Belajar dari Brasil: Mewujudkan Makan Gratis Bergizi untuk Anak Indonesia

303
×

Belajar dari Brasil: Mewujudkan Makan Gratis Bergizi untuk Anak Indonesia

Share this article

Oleh. Achmadie Thaha-Alumni IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat- Ma’had Tadabur Al Quran

ppmindonesia.com, Jakarta– Baru-baru ini, perhatian publik tersita oleh kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil. Di hadapan peserta forum bisnis G20 di Rio de Janeiro, beliau mengungkapkan niat untuk belajar dari program makan bergizi gratis Brasil. Sebuah langkah yang patut diapresiasi—meski mungkin sambil tersenyum kecil. Bukankah banyak pesantren kita telah menyediakan makan gratis sejak lama?

Namun, Brasil memiliki pendekatan unik. Program makan gratis di sekolah di sana adalah bagian dari konstitusi. Di São Paulo, pemandangan anak-anak sekolah dengan riang mengambil pasta, saus tomat segar, tuna sayur, dan salad kale bukan hal asing. Bahkan, anak-anak sering diajak mengenal bahan mentah sebelum diolah, seperti di acara MasterChef Junior.

Program ini memberi makan lebih dari 40 juta anak di 160.000 sekolah, mencakup ribuan kota, dan melibatkan petani kecil. Dengan anggaran sekitar Rp12 triliun per tahun, mereka menyediakan 50 juta porsi makanan setiap hari. Semua dirancang oleh 8.000 ahli gizi dan diawasi 80.000 anggota Dewan Makanan Sekolah. Program ini bukan hanya soal makan, melainkan juga pendidikan, ekonomi, dan pengentasan stunting.

Apakah ini dicapai secara instan? Tentu tidak. Program ini dimulai pada 1955 oleh Presiden Getúlio Vargas untuk mengatasi kelaparan sekaligus meningkatkan kehadiran siswa di sekolah. Targetnya sederhana: memenuhi 15% kebutuhan nutrisi harian anak-anak di sekolah, sementara sisanya diserahkan kepada keluarga di rumah. Brasil membuktikan, makan siang gratis bukan sekadar “gratis” tapi harus bergizi dan berkelanjutan.

Indonesia: Bisakah Kita?

Bayangkan program serupa diterapkan di Indonesia. Di Brasil, sekolah memiliki dapur tempat anak-anak belajar memasak dan memahami gizi. Di sini? Mungkin kita perlu menyulap ruang kelas jadi “Dapur Nusantara Halal dan Berkah.” Tapi siapa chef-nya? Guru olahraga mendadak jadi ahli gizi, atau Bu RT yang terbiasa membuat gorengan?

Logistik adalah tantangan terbesar. Brasil mewajibkan 30% bahan pangan berasal dari petani lokal. Ini sangat mungkin diterapkan di sini. Namun, siapa yang akan diprioritaskan? Petani kecil atau “juragan tender”? Jangan sampai program ini berubah jadi ladang mafia impor, apalagi jika dananya berasal dari utang luar negeri dengan syarat impor bahan tertentu.

Prabowo mengatakan akan membentuk tim untuk mempelajari program ini. Langkah yang bijak, tetapi implementasi harus menjadi prioritas, bukan sekadar studi banding ke Brasil sambil menikmati pantai Copacabana. Dokumen dan riset tentang program ini, termasuk tantangan dan kegagalannya, harus benar-benar dikaji.

Risiko dan Solusi

Manajemen pasokan bahan, distribusi, dan sistem penjaminan gizi harus dirancang matang. Bayangkan sup kacang merah dikirim ke Papua—jangan-jangan berubah jadi rendang karena logistik amburadul. Lebih buruk lagi, bahan makanannya lenyap dikorupsi sebelum sampai ke dapur sekolah.

Soal kebiasaan makan juga perlu diperhatikan. Di Brasil, anak-anak akrab dengan salad kale. Di sini, jangankan kale, sayur bening saja sering dianggap momok. Kita perlu pendekatan budaya, seperti mengganti kale dengan kangkung, atau membuat slogan “Salad Itu Sedap.”

Ironisnya, Brasil sudah menjadikan program ini sebagai pilar pengentasan kemiskinan sejak lama. Sementara kita masih sibuk berdebat soal menu “Piringku” dari Kemenkes: Telur dadar atau nugget murah? Piring plastik atau daun pisang? Makan pakai tangan atau sendok?

Harapan untuk Indonesia

Langkah Prabowo membawa harapan. Dengan belajar dari Brasil, atau bahkan pesantren di Nusantara, kita bisa menciptakan program yang tak hanya memberi makan anak-anak, tetapi juga mendukung petani kecil dan mendorong kemandirian pangan. Namun, pastikan ini bukan janji politik semata.

Jika serius, mulailah dengan langkah kecil: rantai distribusi yang jelas, menu berbasis budaya lokal, dana yang transparan, dan bahan halal serta thayyib. Yang terpenting, jangan ada mafia dan oligarki yang bermain.

Siapa tahu, suatu hari nanti anak-anak Indonesia dengan tubuh sehat dan ceria akan berteriak, “Ayo makan kale!” tanpa paksaan. Sampai saat itu tiba, mari kita seruput kopi sambil menunggu janji itu terealisasi. (achmadie thaha)

Example 120x600