ppmindonesia.com, Jakarta– Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, diturunkan sebagai pedoman hidup yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagai kitabun mubiin (kitab yang menjelaskan), Al-Qur’an menghadirkan kebenaran yang gamblang dan berfungsi sebagai panduan untuk mencapai kehidupan yang diridhai Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an, berbagai istilah yang menggambarkan keistimewaan kitab suci ini diungkapkan dengan jelas, seperti ahsanal tafsir (tafsir terbaik) dan ahsanal hadits (perkataan terbaik).
Namun, pemahaman umat terhadap Al-Qur’an terkadang menyimpang dari hakikat yang sebenarnya, terutama terkait istilah-istilah seperti mutasyabihan yang sering disalahartikan sebagai sesuatu yang tidak jelas.
Hal ini tidak hanya mereduksi kedalaman makna Al-Qur’an, tetapi juga berpotensi menjauhkan umat dari ajarannya. Artikel ini akan mengkaji lebih dalam keutamaan Al-Qur’an sebagai kitab terbaik, konsep mutasyabihan yang sebenarnya, dan dampak dari kekeliruan pemahaman terhadap religiusitas umat.
Al-Qur’an sebagai Tafsir Terbaik (Ahsanal Tafsir)
Salah satu ciri utama hamba Allah yang berakal sehat (ulil albaab) adalah kemampuannya untuk mengambil pelajaran terbaik dari setiap informasi yang diterimanya. Dalam Surah Az-Zumar ayat 17-18, Allah SWT berfirman:
“…dan orang-orang yang menjauhi thaghut (penyembahan kepada selain Allah) dan kembali kepada-Nya, bagi mereka berita gembira. Maka sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang terbaik di antaranya (ahsana).”
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang hidup di atas petunjuk Allah hanya mengikuti hal-hal yang terbaik (ahsana). Dalam konteks ini, Al-Qur’an adalah tafsir terbaik yang memberikan pencerahan dan jawaban atas segala persoalan kehidupan.
Al-Qur’an tidak hanya memandu umat menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, tetapi juga menghindarkan mereka dari penyimpangan yang merugikan.
Al-Qur’an sebagai Perkataan Terbaik (Ahsanal Hadits)
Allah SWT dalam Surah Az-Zumar ayat 23 menyatakan bahwa Dia telah menurunkan ahsanal hadits (perkataan terbaik), yaitu Al-Qur’an. Kitab ini bersifat:
- Mutasyabihan (sebangsa atau serupa): Al-Qur’an menunjukkan pola keserupaan dalam ajarannya yang konsisten antara risalah para nabi dan rasul.
- Matsania (berulang): Ayat-ayatnya diulang untuk mempertegas kebenaran, menguatkan hati orang beriman, dan memberikan peringatan kepada manusia.
Sayangnya, istilah mutasyabihan sering diartikan secara keliru sebagai “ayat yang tidak jelas.” Pemahaman ini bertentangan dengan sifat Al-Qur’an yang merupakan kitabun mubiin (kitab yang jelas). Makna mutasyabihan sebenarnya merujuk pada keserupaan dan kesinambungan dalam risalah kerasulan yang diturunkan Allah.
Sebagai contoh, Surah Ar-Ra’d ayat 39 dan Surah Ali ‘Imran ayat 7 menjelaskan bahwa Al-Qur’an memiliki ayat-ayat muhkamat (yang tegas) sebagai ummul kitab (induk kitab).
Dari ayat-ayat inilah, risalah Allah yang bersifat mutasyabihat diturunkan untuk setiap nabi dalam bentuk yang relevan dengan zamannya, sehingga risalah kerasulan memiliki kesinambungan yang logis.
Keserupaan Risalah Kerasulan dalam Al-Qur’an
Kesamaan ajaran antara para rasul Allah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Dalam Surah An-Nisa ayat 163-165, Allah menyebutkan bahwa apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sama dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa, serta para nabi lainnya. Kesamaan ini menegaskan konsep mutasyabih antara setiap risalah kerasulan.
Lebih lanjut, Al-Qur’an memperingatkan agar umat Islam tidak membedakan satu rasul dengan yang lain. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 136 dan 285 serta Surah Ali ‘Imran ayat 84, ditegaskan:
“Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para rasul-Nya.”
Orang-orang yang membedakan antara para rasulullah disebut sebagai kafirina haqqa (kafir yang sesungguhnya) dalam Surah An-Nisa ayat 150-151. Pemahaman ini sangat penting, karena membedakan rasulullah berarti juga menolak kesinambungan risalah Allah.
Kesalahpahaman yang Berbahaya terhadap Al-Qur’an
Dalam realitas kehidupan beragama, terdapat pandangan yang membedakan antara ajaran Allah (Al-Qur’an) dan ajaran Rasulullah (hadits). Beberapa kelompok berpendapat bahwa menaati Allah berarti mengikuti Al-Qur’an, sedangkan menaati Rasul berarti mengikuti sunnah atau hadits.
Pandangan ini menjadi berbahaya ketika memahami Surah An-Nisa ayat 80:
“Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.”
Jika ketaatan kepada Rasulullah SAW diartikan hanya sebatas mengikuti hadits, maka ajaran Al-Qur’an dianggap tidak relevan lagi. Pemahaman seperti ini berpotensi menyingkirkan Al-Qur’an dari kehidupan umat, sebagaimana yang diperingatkan dalam Surah Al-Furqan ayat 30, bahwa Rasulullah akan mengadu kepada Allah:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang diabaikan.”
Dampak Kesalahpahaman terhadap Religiusitas Umat
Pandangan yang membedakan Allah dan rasul-Nya dalam konteks ketaatan berpotensi mengikis hubungan umat dengan Al-Qur’an. Hal ini berdampak pada:
- Jauh dari Petunjuk Allah: Umat kehilangan arah karena meninggalkan Al-Qur’an sebagai sumber utama petunjuk.
- Religiusitas yang Keliru: Ketaatan yang seharusnya terintegrasi antara Allah dan rasul-Nya menjadi terfragmentasi.
- Kekafiran yang Tersembunyi: Membedakan antara Allah dan rasul-Nya merupakan bentuk kekafiran yang nyata.
Al-Qur’an adalah kitab terbaik yang memuat tafsir dan perkataan terbaik (ahsanal tafsir dan ahsanal hadits). Keserupaan risalah kerasulan (mutasyabih) dalam Al-Qur’an menunjukkan kesinambungan ajaran Allah sejak Nabi Nuh hingga Rasulullah Muhammad SAW.
Kesalahpahaman terhadap konsep ini, terutama dalam memisahkan antara Al-Qur’an dan sunnah, berpotensi membawa umat pada kekafiran dan menjauhkan mereka dari petunjuk Allah.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk senantiasa kembali kepada Al-Qur’an sebagai pedoman utama, tanpa meninggalkannya atau meminggirkan perannya dalam kehidupan beragama. Dengan begitu, umat dapat hidup di atas petunjuk Allah dan terhindar dari kesesatan. (husni fahro)