Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Kritik Terhadap Religiusitas Umat dan Kesalahpahaman Tentang Shalawat

284
×

Kritik Terhadap Religiusitas Umat dan Kesalahpahaman Tentang Shalawat

Share this article

ppmindonesia.com, Jakarta- Dalam beberapa abad terakhir, religiusitas umat Islam mengalami dinamika yang tidak hanya memengaruhi pemahaman terhadap ajaran agama, tetapi juga melahirkan perbedaan pendapat yang semakin menjauhkan umat dari Al-Qur’an.

Salah satu faktor utamanya adalah munculnya kepentingan kelompok dan maraknya pengkultusan terhadap pribadi Nabi Muhammad SAW. Fenomena ini diperparah oleh penggunaan hadits-hadits yang diragukan keabsahannya, termasuk yang berkaitan dengan keutamaan shalawat.

Realitas ini mencerminkan kondisi umat yang lebih terpesona oleh janji-janji manfaat duniawi dan ukhrawi melalui ritual tertentu daripada memahami inti ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an. Dalam konteks ini, penting untuk menelaah secara mendalam bagaimana shalawat dipahami, apa kaitannya dengan ajaran Al-Qur’an, dan bagaimana dampaknya terhadap pola pikir umat yang sering kali menjauhkan diri dari akal sehat.

Makna Shalawat dalam Al-Qur’an

Perintah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dijelaskan dalam Surah Al-Ahzab ayat 43 dan 56. Namun, makna shalawat sering disalahpahami sebagai sekadar ungkapan lisan atau nyanyian pujian kepada Nabi. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, shalawat memiliki makna yang lebih luas dan mendalam.

  1. Yushalli Allah (Shalawat dari Allah):
    Dalam Al-Qur’an, shalawat dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW mengandung makna bahwa Allah memberikan rahmat dan dukungan kepada Rasul-Nya untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-Hadid ayat 9:

“Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang jelas agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya.”

Dengan demikian, shalawat bukan hanya pujian atau doa, tetapi juga wujud misi pembebasan umat dari kezaliman dan kebodohan menuju kehidupan yang lebih baik.

  1. Shalawat Umat kepada Nabi:
    Shalawat umat kepada Nabi Muhammad SAW adalah wujud penghormatan dan dukungan terhadap misi kerasulan beliau. Shalawat ini sejatinya harus diiringi dengan usaha nyata untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-An’am ayat 155:

“Dan inilah Kitab yang Kami turunkan yang diberkahi; maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.”

Sayangnya, banyak umat yang hanya memahami shalawat sebatas ritual lisan tanpa memahami esensi misi kerasulan Nabi Muhammad SAW.

Kritik Terhadap Pengkultusan Nabi Muhammad SAW

Salah satu fenomena yang memperburuk religiusitas umat adalah pengkultusan terhadap Nabi Muhammad SAW yang melampaui batas-batas yang diajarkan Al-Qur’an. Pengkultusan ini sering kali didorong oleh hadits-hadits lemah atau palsu yang menjanjikan keutamaan berlebihan melalui shalawat, seperti jaminan masuk surga atau keberkahan duniawi.

Padahal, Al-Qur’an dengan jelas menyatakan dalam Surah Ali ‘Imran ayat 144:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul.”

Ayat ini menegaskan bahwa peran Nabi Muhammad SAW terbatas pada tugas kerasulan. Tidak ada justifikasi untuk mengaitkan Nabi dengan klaim-klaim yang tidak berdasar, termasuk pengakuan garis keturunan atau nasab yang sering digunakan untuk mendukung otoritas keagamaan tertentu.

Surah Al-Ahzab ayat 40 juga memperkuat pandangan ini dengan menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah “bapak” dari siapapun di antara umatnya, melainkan penutup para nabi. Ini menjadi dasar untuk menolak klaim-klaim keutamaan keturunan atau dinasti berbasis nasab Nabi Muhammad SAW.

Propaganda Shalawat dan Penyimpangan Agama

Realitas masyarakat menunjukkan bahwa banyak umat terpesona dengan anjuran bershalawat yang dibumbui iming-iming pahala besar, kemudahan hidup, dan jaminan surga. Fenomena ini tidak hanya mengaburkan makna sebenarnya dari shalawat, tetapi juga mengalihkan perhatian umat dari tugas utama, yaitu menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan.

Lebih jauh, maraknya penyebaran hadits-hadits palsu tentang shalawat juga menunjukkan adanya upaya terselubung untuk mengalihkan misi pembebasan manusia dari kezaliman menjadi sekadar aktivitas seremonial. Banyak pihak, termasuk yang mengklaim sebagai keturunan Nabi, memanfaatkan shalawat untuk menguatkan status sosial dan pengaruhnya di tengah masyarakat.

Kritik terhadap Keturunan Nabi dan Konflik Kepentingan

Klaim keturunan Nabi yang sering diusung oleh sejumlah pihak, terutama para habaib, juga menjadi persoalan serius dalam kehidupan umat Islam. Tidak jarang klaim ini digunakan untuk mendukung status keagamaan mereka, meskipun Al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan adanya keutamaan berdasarkan garis keturunan.

Lebih ironis, klaim ini bertentangan dengan Surah At-Taubah ayat 97 yang menyatakan:

“Orang-orang Arab itu lebih keras kekafirannya dan kemunafikannya.”

Ayat ini menunjukkan bahwa keutamaan seseorang dalam Islam tidak ditentukan oleh garis keturunan atau suku bangsa, melainkan oleh iman dan amal perbuatannya.

Pentingnya Kembali kepada Al-Qur’an

Kondisi umat Islam yang lebih mengutamakan ritual daripada substansi ajaran agama menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan untuk kembali kepada Al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan janji bahwa Allah akan menyelamatkan orang-orang beriman dan memberikan mereka kehidupan yang baik, sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nahl ayat 97:

“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

Namun, sejarah mencatat bahwa bahkan di kalangan sahabat Rasulullah SAW pernah terjadi konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an karena adanya pihak-pihak yang menolak menjadikannya sebagai pedoman. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar umat adalah kesediaan untuk tunduk kepada Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Religiusitas umat Islam saat ini membutuhkan koreksi mendalam untuk mengembalikan fokus kepada Al-Qur’an. Shalawat, yang seharusnya menjadi bentuk penghormatan kepada misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, telah berubah menjadi sekadar ritual lisan yang sering disalahpahami.

Pengkultusan terhadap Nabi dan klaim-klaim keturunan yang tidak berdasar hanya memperburuk keadaan, menjauhkan umat dari ajaran Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu, umat Islam perlu mendalami kembali makna shalawat sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an, serta menolak segala bentuk penyimpangan yang bertentangan dengan esensi agama.

Hanya dengan kembali kepada Al-Qur’an, umat Islam dapat menemukan kembali jalan yang lurus dan keluar dari berbagai bentuk penyimpangan yang merugikan. (husni fahro)

Example 120x600