Oleh : Ainur Rofiq, Senior PPM dan Tokoh Pergerakan Pemberdayaan Masyarakat Pusat Peranserta Masyarakat
ppmindonesia.com, Kalitidu, Pembangunan seharusnya menjadi tonggak pemerataan, dengan kebijakan pemerintah yang adil untuk semua. Namun, realitas PIK 2 (Pantai Indah Kapuk 2) menunjukkan arah yang berbeda: sebuah proyek yang menciptakan enclave disparitas, atau kantong ketimpangan, yang semakin memperlebar jurang antara kaum kaya dan rakyat miskin.
PIK 2 dan Ketimpangan Sosial
PIK 2 hadir sebagai simbol eksklusivitas, sebuah kawasan elite yang dirancang untuk kenyamanan kaum kaya, tetapi mengorbankan hak-hak rakyat kecil. Proyek ini tidak dapat dilepaskan dari kepentingan pengembang besar seperti Agung Sedayu Group dan Salim Group, yang memperoleh keuntungan pribadi dari proyek ini. Ironisnya, pemerintah melalui kebijakan Presiden Jokowi, turut memberikan fasilitas kepada PIK 2 dengan memasukkannya ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).
Melalui status PSN, PIK 2 mendapat legitimasi penuh untuk menjalankan proyeknya, bahkan ketika tindakan tersebut merugikan rakyat kecil. Banyak cerita pilu tentang ganti rugi tanah yang ditetapkan secara sepihak, atau bahkan perampasan tanah rakyat, atas nama proyek strategis ini. Ketika negara seharusnya menjadi pelindung rakyat, kenyataannya justru negara mendukung dominasi pemodal besar.
Sengketa Agraria dan Ketidakadilan Struktural
Sengketa agraria yang melibatkan PIK 2 hanyalah salah satu contoh dari banyak konflik serupa di Indonesia. Salah satu akar masalahnya adalah kurangnya transparansi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Rakyat sering kali dikejutkan oleh klaim kepemilikan tanah oleh pihak ketiga (biasanya pemodal besar) yang tiba-tiba muncul, didukung oleh kekuatan hukum dan aparat negara.
Tanah adat yang telah dihuni rakyat selama puluhan tahun kerap kali diambil alih tanpa proses yang adil. Dalam konflik semacam ini, rakyat hampir selalu berada di posisi yang lemah. Hal ini bertentangan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang dirancang oleh Presiden Soekarno untuk menggantikan Agrarisch Wet 1870. UUPA 1960 menegaskan bahwa tanah adalah sumber keadilan bagi rakyat, bukan menjadi ajang spekulasi yang memicu sengketa antara rakyat dan pemodal.
Potensi Gejolak Sosial
Proyek seperti PIK 2 tidak hanya menimbulkan ketidakadilan, tetapi juga berpotensi menciptakan gejolak sosial di masa depan. Ketimpangan yang semakin lebar akan memunculkan ketidakpuasan yang dapat meledak menjadi konflik. Pemerintah seharusnya berdiri sebagai penengah yang adil, bukan menjadi pendukung salah satu pihak. Konstitusi Indonesia mengamanatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (Sila ke-5 Pancasila), dan kebijakan pembangunan seharusnya mencerminkan nilai luhur ini.
Aktivis: Pejuang Keadilan, Bukan Kriminal
Mereka yang berjuang mempertanyakan kebijakan PSN PIK 2 adalah para pejuang konstitusional yang berhak menuntut keadilan sosial. Aktivisme mereka adalah bentuk cinta pada negeri dan perjuangan untuk menegakkan hak rakyat yang sah. Kriminalisasi terhadap mereka hanya akan memperburuk situasi dan menambah luka di hati rakyat.
Para pengembang besar yang menjadi motor proyek ini, yang entah di mana keberadaannya saat rakyat berjuang merebut kemerdekaan, kini muncul sebagai “penjajah baru” di negeri yang telah merdeka. Mereka meraup keuntungan besar di atas penderitaan rakyat kecil yang haknya dirampas.
Menuntut Keadilan dalam Pembangunan
Pembangunan seharusnya bukan tentang memperkaya segelintir orang, tetapi tentang menciptakan kesejahteraan bagi semua. Pemerintah harus kembali pada mandat konstitusional untuk memastikan pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Beberapa langkah yang bisa diambil adalah:
- Transparansi Data Agraria: BPN harus membuka akses data kepemilikan tanah secara transparan agar tidak ada lagi klaim sepihak yang merugikan rakyat.
- Reformasi Kebijakan PSN: Proyek Strategis Nasional harus benar-benar bermanfaat bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk kepentingan pemodal besar.
- Perlindungan Hak Rakyat: Pemerintah harus memastikan bahwa ganti rugi tanah dilakukan secara adil dan sesuai dengan nilai yang layak.
- Penegakan Keadilan Sosial: Prioritas pembangunan harus diarahkan untuk mengurangi ketimpangan, bukan menciptakan sekat antara yang kaya dan miskin.
PIK 2 adalah cerminan dari bagaimana pembangunan bisa menjadi sumber ketimpangan jika tidak dikelola dengan adil. Pemerintah harus segera memperbaiki arah kebijakannya agar pembangunan benar-benar menjadi sarana untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan biarkan rakyat kecil terus menjadi korban dalam proses pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir orang. (ainur rofiq)