Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Makna Shadaqah dalam Perspektif Al-Qur’an: Sebuah Upaya Penyucian dan Peningkatan Martabat Manusia

52
×

Makna Shadaqah dalam Perspektif Al-Qur’an: Sebuah Upaya Penyucian dan Peningkatan Martabat Manusia

Share this article
Example 468x60

Istilah tuthahhiruhum wa tuzakkihim biha dalam surah At-Taubah (9:103) memiliki makna mendalam tentang penyucian dan pemuliaan umat manusia. Ayat ini berbunyi:
“Ambillah sadakah dari sebagian harta mereka, dengan sadakah  itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…”

Shadaqah: Penyucian dan Pemuliaan Umat Manusia

ppmindonesia.com, Jakarta Makna penyucian di sini bukan sekadar penyucian fisik, tetapi juga mencakup dimensi spiritual, moral, dan peningkatan kualitas hidup manusia. Shadaqah menjadi alat untuk memperbaiki umat, baik dari sisi sosial maupun individu. Dalam konteks ini, Allah memerintahkan agar sebagian harta manusia diambil untuk kemaslahatan umum.

Jika merujuk pada surah Al-Anfal (8:41), kadar yang diambil dari hasil pengelolaan harta adalah sebesar 20% atau khumusuhu, sebagaimana ditegaskan:
“Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah…”

Ayat ini menunjukkan bahwa 20% hasil pengelolaan harta disisihkan untuk kepentingan sosial, salah satunya dalam bentuk shadaqah, sebagai cara untuk membersihkan dan memuliakan manusia.

Penyucian dari Kemusyrikan: Sebuah Tantangan Besar
Memuliakan manusia melalui shadaqah juga berarti membersihkan mereka dari kemusyrikan. Dalam surah At-Taubah (9:28), Allah menyatakan:
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram…”

Larangan ini beralasan jika merujuk pada ciri-ciri kemusyrikan yang dijelaskan dalam surah Ar-Rum (30:31-32) dan Al-An’am (6:159), yaitu sikap memecah-belah agama (farraqu dinahum).

Kemusyrikan tidak hanya mengacu pada menyekutukan Allah secara eksplisit, tetapi juga mencakup perilaku yang melenceng dari tuntunan-Nya (sabilillah), sebagaimana diperingatkan dalam surah Al-An’am (6:153):
“Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah itu; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain…”

Namun, upaya membersihkan umat dari kemusyrikan bukan perkara mudah, mengingat keyakinan yang melenceng sering kali berakar kuat dalam tradisi dan budaya masyarakat.

Kitabullah vs Sunnah Rasul: Sebuah Perdebatan Sumber Hukum

Salah satu penyebab kemusyrikan modern adalah sikap menyandingkan kitab Allah dengan sumber lain yang tidak berasal dari-Nya. Dalil yang sering digunakan untuk membenarkan hal ini adalah hadis:
“Aku tinggalkan dua perkara kepada kalian. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.”

Dalil ini menunjukkan bahwa umat mengandalkan dua sumber hukum (amraini), yaitu Al-Qur’an dan sunnah (hadis). Namun, jika merujuk pada Al-Qur’an, Allah sering kali menggunakan istilah amron (satu perintah), bukan amroini (dua perintah), seperti dalam surah Al-Ahzab (33:36):
“…dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”

Istilah amron ini menunjukkan kesatuan perintah antara Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam surah An-Nisa (4:80):
“Barang siapa menaati Rasul, maka sungguh dia telah menaati Allah…”

Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam surah Al-Kahfi (18:26):
“…Dan Dia tidak mengambil seorang pun sebagai sekutu dalam hukum-Nya.”

Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak berbagi otoritas dalam hukum-Nya dengan siapa pun. Dengan demikian, penggunaan dua sumber hukum (amroini) selain Al-Qur’an berpotensi mengarah pada kemusyrikan terselubung, apalagi jika sumber tersebut diakui berasal dari hadis dan bukan dari wahyu Allah.

Islam sebagai Agama yang Murni dari Allah

Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang murni dari Allah, sebagaimana dalam surah Ali Imran (3:19):
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.”

Jika Islam adalah agama yang berasal dari Allah, maka setiap ajaran yang tidak bersumber dari wahyu Allah harus dipertanyakan validitasnya. Apakah ajaran tersebut benar-benar bagian dari Islam? Atau justru menyimpang dari prinsip tauhid yang murni?

Mengembalikan Islam pada Tauhid yang Murni

Shadaqah, sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an, tidak hanya bertujuan membantu masyarakat secara sosial, tetapi juga sebagai sarana penyucian dari kemusyrikan dan peningkatan martabat manusia. Namun, untuk mencapai tujuan ini, umat Islam harus kembali kepada ajaran murni yang bersumber langsung dari Al-Qur’an, tanpa menyandingkan hukum Allah dengan sumber lain yang berpotensi menyimpang dari shirath mustaqim. Upaya ini membutuhkan kesadaran kolektif dan keberanian untuk mengoreksi keyakinan yang telah lama mengakar.(husni fahro)

Example 120x600