Oleh : Cak AT -Ahmadie Thaha – Alumni FU IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat – Ma’had Tadabbur al-Qur’an,
ppmindonesia.com, Jakarta – Kini, Presiden Prabowo Subianto menduduki kursi nyaman Istana Negara, membawa serta visi besar yang ia tuangkan dalam karyanya, Paradox Indonesia. Buku ini bukan sekadar tulisan, melainkan curahan hati—atau lebih tepatnya, renungan ekonomi dan politik—seorang patriot yang merasa Indonesia bak superhero yang kehilangan kekuatannya.
Dengan tajam, Prabowo memetakan paradoks antara potensi besar negeri ini dan kenyataan pahit yang dihadapi. Ia menyerukan bangsa ini untuk kembali ke jalan lurus UUD 1945, khususnya pada dua pilar utama: ekonomi dan politik.
Di bidang ekonomi, Pasal 33 UUD 1945 menjadi pusat perhatiannya, sementara di bidang politik, ia menegaskan pentingnya demokrasi berbasis musyawarah mufakat sebagai kunci harmoni.
Ekonomi: Rumah Besar yang Dikuasai Tamu
Dalam bab ekonomi, Prabowo menggambarkan Indonesia seperti rumah megah yang dikuasai oleh tamu kaya, sementara sang pemilik hanya menonton dari pinggir. Kapitalisme di negeri ini, menurutnya, adalah raksasa yang kenyang di perut tetapi kosong di hati—menggerus sumber daya tanpa memberikan dampak nyata bagi rakyat kecil.
Sebagai solusi, Prabowo mengusulkan kebangkitan BUMN dan koperasi multi-pihak sebagai ujung tombak perekonomian. Sebuah visi yang terlihat mulia, tetapi membutuhkan upaya besar untuk mengasah “ujung tombak” ini agar tak tumpul di tengah kerasnya persaingan pasar bebas.
Masalah birokrasi di tubuh BUMN juga tak bisa diabaikan—kerap kali, bukannya mempercepat laju, birokrasi justru menjadi beban dengan beragam dokumen dan rapat tanpa akhir.
Ia bahkan berani bermimpi besar: pertumbuhan ekonomi dua digit. Namun, ini adalah target yang terdengar fantastis. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari 5 persen ke 10 persen tanpa strategi konkret dan modal besar ibarat membuat donat dua kali lipat lebih besar dengan bahan yang sama.
Prabowo menaruh harapan besar pada sektor tradisional seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan untuk mewujudkan visinya. Namun, di era digitalisasi dan kecerdasan buatan, mampukah sektor-sektor ini bertahan tanpa modernisasi? Tantangannya adalah memastikan visi ini tidak menjadi nostalgia agraris semata, tetapi rencana yang benar-benar kompetitif di panggung global.
Politik: Demokrasi dengan Sentuhan Kearifan Lokal
Di sisi politik, Prabowo mengusung konsep demokrasi berbasis musyawarah mufakat, sebuah cita-cita luhur yang mengingatkan kita pada tradisi sidang desa. Namun, dalam realitas modern, demokrasi kita lebih sering menyerupai kolom komentar di media sosial: penuh emosi, minim logika, dan kerap diwarnai oleh politik uang.
Bagaimana musyawarah mufakat dapat diterapkan dalam masyarakat yang telah terpolarisasi oleh algoritma media sosial? Ketika rakyat lebih tertarik pada bansos dan “uang suara,” upaya merevitalisasi demokrasi menjadi tantangan besar. Demokrasi saat ini lebih sering menjadi kontes popularitas mahal, di mana debat bukan lagi soal gagasan, tetapi tentang siapa yang paling memikat perhatian kamera.
Paradoks atau Harapan?
Meski banyak kritik, kita tidak boleh mengabaikan keberanian Prabowo untuk bermimpi besar. Mengusulkan kembali ke UUD 1945 adalah gagasan radikal yang terasa seperti ajakan pulang kampung setelah lama merantau. Namun, pertanyaannya: apakah “kampung” itu masih utuh, ataukah telah menjadi reruntuhan yang dihuni oleh rayap zaman?
Tantangan terbesar Presiden Prabowo adalah mengubah visi besar ini menjadi langkah nyata. Paradox Indonesia telah lama menjadi sumber inspirasi bagi para pendukungnya, tetapi kini rakyat menantikan bukti konkret.
Akankah ia menjadi pemimpin yang berhasil membawa perubahan, atau justru menjadi perwujudan paradoks itu sendiri? Sebagai bangsa, kita berharap yang pertama. Sebab, jika tidak, buku ini hanya akan menjadi ironi besar—dan ironi semacam itu adalah tragedi yang tidak akan kita rayakan Mari kita menunggu dan memberi ruang untuk harapan, dengan doa yang tulus agar perjalanan ini tidak berakhir menjadi satire lain dalam sejarah republik ini. (ahmadie thaha)