ppmindonesia.com, Jakarta-Kemusyrikan tidak selalu terjadi dalam bentuk pengakuan adanya tuhan lain selain Allah. Al-Qur’an dengan tegas menunjukkan bahwa bentuk kemusyrikan juga dapat terjadi ketika seseorang memberikan kedudukan yang seharusnya eksklusif milik Allah kepada makhluk lain. Hal ini dijelaskan secara presisi dalam Surah Yunus (10:35):
“Apakah ada di antara sekutu-sekutu yang kamu jadikan syarikat itu dapat menunjuki kepada kebenaran? Katakanlah: Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran. Maka apakah (Allah) yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti ataukah yang tidak dapat menunjuki kecuali jika ia sendiri diberi petunjuk? Maka bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”
Ayat ini secara jelas memperingatkan umat manusia agar tidak menyamakan kedudukan Allah dengan makhluk lain, termasuk para rasul, dalam hal petunjuk dan penetapan hukum. Namun ironisnya, banyak umat yang secara tidak sadar terjerumus ke dalam bentuk kemusyrikan ini. Contoh yang sering ditemukan adalah penggunaan simbol-simbol keagamaan, seperti tulisan nama “Allah” yang disandingkan secara sejajar dengan nama Rasulullah Muhammad ﷺ, yang seolah-olah memberikan kesan kesetaraan antara keduanya.
Padahal, Al-Qur’an telah menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali mengikuti ketetapan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Ahzab (33:36):
“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”
Namun demikian, keselarasan antara Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan hukum tidak berarti kesetaraan kedudukan. Rasul hanyalah pembawa wahyu Allah, sementara Allah adalah satu-satunya sumber utama petunjuk. Dalam Surah Al-An’am (6:153), Allah memperingatkan untuk tidak mengikuti jalan lain selain yang telah ditentukan-Nya:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.”
Tafarruq (perpecahan) adalah konsekuensi dari mengabaikan pedoman Allah yang murni, dan inilah akar dari berbagai bentuk kemusyrikan yang terjadi. Umat seringkali menjadikan pedoman selain Al-Qur’an sebagai sumber rujukan utama, sehingga mereka terpisah dari jalan Allah dan terjerumus ke dalam perpecahan.
Untuk membebaskan umat dari jeratan kemusyrikan ini, diperlukan upaya yang besar, sebagaimana Allah memberi solusi melalui instrumen zakat dan sedekah. Dalam konteks ini, sedekah bukan sekadar ibadah, tetapi juga menjadi sarana untuk membersihkan umat dari segala bentuk dosa, termasuk kemusyrikan yang kronis. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan kemusyrikan memerlukan ketersediaan sumber daya yang memadai, baik dari segi tenaga, pikiran, maupun dana.
Tantangan yang dihadapi dalam memberantas kemusyrikan ini sangat berat, sebagaimana disebutkan dalam Surah Luqman (31:11):
“Inilah ciptaan Allah, maka tunjukkanlah kepadaku apa yang telah diciptakan oleh selain-Nya.”
Pernyataan ini adalah tantangan langsung kepada mereka yang tetap bertahan dalam kemusyrikan. Tidak ada makhluk yang mampu menandingi penciptaan Allah, apalagi menjadi sekutu-Nya dalam hal kekuasaan dan petunjuk.
Oleh karena itu, menyadarkan umat agar kembali kepada petunjuk Allah yang murni memerlukan perjuangan yang penuh kesabaran dan strategi yang terencana. Hal ini bukan sekadar tugas individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif umat Islam. Dengan demikian, upaya pembersihan umat dari sumber-sumber kemusyrikan menjadi panggilan yang tidak hanya mendesak, tetapi juga esensial untuk menjaga kesatuan umat dan kemurnian akidah Islam.(husni fahro)