Oleh : PADERIpartisipatori
ppmindonesia.com, Kalitidu– Biaya kesehatan modern yang semakin mahal tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Meski berbagai sistem asuransi kesehatan berbasis gotong royong seperti BPJS Kesehatan, Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan lainnya telah diperkenalkan, masih banyak rakyat yang kesulitan mengakses layanan medis saat mereka atau keluarganya sakit.
Sistem kesehatan modern, yang kini didominasi oleh kelompok kapitalis, telah berubah menjadi ladang bisnis besar. Tidak hanya mencakup obat-obatan kimia, alat kesehatan canggih, tenaga ahli medis, dan infrastruktur rumah sakit modern, tetapi juga melibatkan rekayasa politik-ekonomi kesehatan yang rumit.
Contoh kasus Covid-19 menunjukkan betapa kuatnya arus utama ini. Tren tersebut diperkirakan akan terus berlanjut, menciptakan hegemoni baru berupa “penjajahan” di bidang kesehatan oleh korporasi global. Bisnis kesehatan menjadi sangat menarik karena melibatkan perputaran uang dalam jumlah besar, meskipun sering kali mengesampingkan sisi kemanusiaan.
Ironisnya, pengobatan medis modern yang berbasis obat kimia dan berbiaya mahal sering kali tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Banyak pasien yang tidak sembuh, bahkan mengalami komplikasi baru akibat efek samping penggunaan obat-obatan kimia secara berlebihan.
Dalam Islam, Rasulullah telah memberikan teladan tentang pola hidup sehat dan metode penyembuhan bagi orang yang sakit. Pada masa awal perkembangan Islam, ilmu kesehatan berkembang pesat dengan tokoh seperti Ibnu Sina, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern.
Sayangnya, setelah masa kejayaan itu, kaum Muslim mulai beralih fokus pada ilmu fikih, tasawuf, dan tabligh. Ilmu kesehatan akhirnya dipelajari dan dikembangkan oleh Barat hingga menjadi sistem kesehatan modern seperti yang dikenal saat ini. Dengan orientasi materialistis, Barat menjadikan kesehatan sebagai ladang bisnis, sering kali tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan.
Berangkat dari keprihatinan terhadap sistem kesehatan modern yang tidak terjangkau oleh masyarakat luas dan sering kali gagal memberikan solusi yang efektif, pada tahun 2003, PADERI di Sulawesi Tenggara melalui Ali Mustafa dan saya, menggagas konsep kesehatan swadaya yang disebut BAKESRA (Balai Kesehatan Rakyat). Tujuan BAKESRA adalah memberikan layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat, terutama di daerah terpencil yang minim fasilitas kesehatan.
Pada tahun 2013, konsep ini mendapat perhatian nasional ketika saya diundang oleh Kementerian Kesehatan RI untuk mempresentasikan BAKESRA di hadapan seluruh deputi kementerian. Responnya cukup positif, terutama terhadap gagasan kesehatan swadaya yang dapat dikembangkan sebagai program pemerintah di masa depan.
BAKESRA berfokus pada metode kesehatan non-medis ala Rasulullah sebagai alternatif bagi masyarakat yang gagal sembuh melalui pengobatan medis yang mahal. Dengan semangat nirlaba, BAKESRA berupaya membantu rakyat yang terjebak dalam pengobatan medis yang tidak efektif dan menguras biaya.
Pendekatan kesehatan ala Rasulullah atau Thibbun Nabawi mengintegrasikan ikhtiar fisik dan spiritual. Metode ini meliputi:
- Thibbun Nabawi, yang mencakup pola hidup sehat, penggunaan bahan alami, dan panduan kesehatan yang diajarkan Rasulullah.
- Akupresur, terapi tradisional yang memanfaatkan titik-titik tekanan pada tubuh untuk meredakan penyakit.
- Doa, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, Sang Maha Penyembuh.
Prinsip utama yang dipegang dalam BAKESRA adalah bahwa kesembuhan sejati berasal dari Allah. Obat dan metode hanya menjadi sarana ikhtiar, sedangkan kekuatan penyembuh sejati ada pada kehendak-Nya. Dengan mengamalkan metode ini, tidak hanya diharapkan penyakit dapat sembuh, tetapi juga menjadi bagian dari ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah.
Semoga dengan semangat meneladani Rasulullah dalam menjaga kesehatan, umat Islam tidak hanya mendapatkan kesembuhan fisik, tetapi juga keberkahan hidup dan syafaat di akhirat kelak.( PADERIpartisipatori)