Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Merenungkan Shalat dalam Perspektif Al-Qur’an: Sebuah Tinjauan Deskriptif

32
×

Merenungkan Shalat dalam Perspektif Al-Qur’an: Sebuah Tinjauan Deskriptif

Share this article
Example 468x60

ppmindonesia.com, Jakarta-Pernyataan “kullun qad `alima shalatahu” yang termuat dalam Al-Qur’an (24:41) mengandung makna mendalam tentang ketundukan makhluk kepada Allah. Ayat ini menegaskan bahwa siapa pun yang ada di langit dan di bumi, termasuk burung-burung yang berbaris-baris, telah mengetahui shalatnya masing-masing. Sebagai mukmin yang taat, adalah logis jika kita bertanya: Bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap pernyataan Allah yang menyatakan bahwa semua makhluk telah mengetahui shalatnya?

Hal pertama yang pasti adalah bahwa Allah tidak mungkin salah dalam menyampaikan pernyataan-Nya. Allah adalah yang paling mengetahui kondisi hamba-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam QS. 17:25:

“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam dirimu.”

Ayat ini dikuatkan oleh QS. 50:16, bahwa Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam setiap jiwa, dan QS. 31:28 yang menyatakan:

“Menciptakan dan membangkitkan kamu (di hari kiamat) hanyalah seperti (menciptakan) satu jiwa saja.”

Dengan demikian, tidak ada yang tersembunyi dari Allah, termasuk hakikat dan pemahaman setiap makhluk terhadap shalatnya masing-masing.

Shalat dalam Perspektif Semua Makhluk

Jika seluruh makhluk telah mengetahui shalatnya, pertanyaan selanjutnya adalah: Seperti apa hakikat shalat tersebut sehingga setiap makhluk dapat memahami dan mengetahuinya, bahkan burung-burung pun dinyatakan telah mengetahui?

Namun, realitasnya menunjukkan bahwa umat beragama, terutama umat Islam, seolah-olah mengabaikan pernyataan ini. Hal ini terlihat dari banyaknya upaya untuk mengajarkan shalat, seakan-akan ada orang yang belum mengetahuinya. Jumlah buku yang membahas shalat pun sangat besar, menjadi bukti bahwa mayoritas umat masih membutuhkan panduan untuk memahami shalat.

Apakah ini berarti umat tidak menerima sepenuhnya atau bahkan menolak pernyataan QS. 24:41? Ataukah, mungkin, shalat yang dimaksud dalam ajaran mereka berbeda dari shalat dalam makna yang sesungguhnya?

Hakikat Shalat dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an memberikan banyak indikasi tentang esensi shalat. QS. 29:45 menegaskan bahwa:

“Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”

Ini menunjukkan bahwa hakikat shalat bukan hanya ritual fisik, tetapi juga memiliki fungsi moral yang mendalam. Bahkan semua makhluk secara naluriah bereaksi terhadap sesuatu yang keji (fahsya) dan tindakan yang melanggar aturan (mungkar).

Lebih lanjut, QS. 9:103 menyebutkan tentang shalat yang memberikan kedamaian kepada orang lain:

“Dan doakanlah mereka. Sesungguhnya doa (shalat)mu menjadi ketentraman bagi mereka.”

Shalat dalam ayat ini adalah bentuk pengabdian yang membawa kedamaian dan manfaat bagi orang lain.

Namun, tidak semua shalat bernilai positif. Dalam QS. 4:142, Allah menyebutkan shalatnya orang-orang munafik, yang dilakukan hanya untuk dilihat manusia:

“Mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit.”

Begitu pula dalam QS. 8:35, disebutkan adanya shalat yang sebatas permainan belaka:

“Shalat mereka di sekitar Baitullah tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.”

Bahkan QS. 107:4-5 menegaskan adanya shalat yang menjadi jalan menuju neraka karena dilakukan tanpa memahami hakikatnya.

Memahami Pilihan Shalat

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Shalat seperti apa yang kita inginkan? Apakah shalat dalam makna sesungguhnya yang mencegah fahsya dan mungkar, atau shalat yang hanya formalitas belaka?

Allah dengan tegas memperingatkan dalam QS. 49:16:

“Apakah kamu hendak mengajari Allah tentang agama kamu?”

Ayat ini menyentil sikap sebagian umat yang cenderung merumuskan sendiri shalat menurut pemahaman mereka, seolah-olah hendak mengajari Allah tentang agama-Nya.

Refleksi dan Kesimpulan

Merenungkan ayat QS. 24:41, kita diingatkan bahwa shalat bukan hanya ritual yang diajarkan dari satu generasi ke generasi lain. Ia adalah penghambaan sejati yang telah melekat pada setiap makhluk. Realitas bahwa banyak buku diterbitkan untuk mengajarkan shalat seolah menjadi bukti nyata bahwa pemahaman terhadap shalat sering kali terbatas pada aspek ritual dan terpisah dari esensinya.(husni fahro)

Maka, sebagai mukmin, tugas kita adalah mengembalikan pemahaman shalat kepada hakikatnya yang sejati: shalat yang menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah, membawa kedamaian bagi makhluk, serta mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar.

Apakah kita telah menjadikan shalat sebagai jalan yang membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi diri sendiri dan sesama, ataukah kita masih berkutat pada formalitas yang hampa makna? Pertanyaan ini layak untuk terus direnungkan.

Example 120x600