ppmindonesia.com. Jakarta Al-Qur’an Surat An-Nur (24:41) memuat pernyataan penting: “kullun qad ‘alima shalatahu,” yang berarti bahwa semua orang telah mengetahui shalatnya. Pernyataan ini logis, terutama jika shalat dimaknai dalam pengertian hakiki, yaitu sebagai upaya mencegah perbuatan keji (fahsya) dan mungkar. Namun, dalam kenyataan, tidak semua orang bersedia menegakkan shalat ini ketika berhadapan dengan fahsya dan mungkar. Banyak yang justru merangkul perbuatan keji dan pelanggaran sebagai pilihan hidupnya.
Shalat dalam Al-Qur’an
Meskipun shalat sering dibahas dalam banyak ayat Al-Qur’an, terdapat kesalahpahaman di kalangan sebagian umat beragama yang menyatakan bahwa keterangan tentang shalat hanya ada dalam hadits, bukan dalam Al-Qur’an. Padahal, Al-Qur’an memberikan berbagai pernyataan terkait shalat yang dapat dijadikan landasan pemahaman. Berikut adalah beberapa ayat yang berkaitan dengan istilah shalat:
- QS. Al-Kawthar (108:2):
“Fa shalli lirabbika,” artinya: “Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu.” - QS. At-Taubah (9:103):
“Wa shalli ‘alaihim,” artinya: “Dan shalatlah atas mereka.” - QS. At-Taubah (9:103):
“Inna shalataka sakanun lahum,” artinya: “Sesungguhnya shalatmu adalah kedamaian bagi mereka.” - QS. Al-A’la (87:15):
“Wazakarosma rabbihi fashalla,” artinya: “Dia mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.” - QS. Al-Mu’minun (23:2):
“Fii shalatihim khashi’un,” artinya: “Mereka khusyu’ dalam shalatnya.” - QS. Al-Ahzab (33:43):
“Yushalli ‘alaikum,” artinya: “Dia (Allah) bershalat atas kamu.” - QS. Al-Qiyamah (75:31):
“Falaa shaddaqa walaa shalla,” artinya: “Mereka tidak membenarkan dan tidak pula shalat.” - QS. Al-Ma’arij (70:23):
“‘Alaa sholatihim daa-imuun,” artinya: “Mereka selalu dalam shalatnya.”
Dari ayat-ayat ini, terlihat bahwa istilah shalat dalam Al-Qur’an memiliki beragam bentuk dan makna yang luas.
Shalat yang Berkesinambungan
Pernyataan dalam QS. Al-Ma’arij (70:23) tentang ‘alaa sholatihim daa-imuun menunjukkan bahwa shalat harus dilakukan secara terus-menerus. Hal ini sesuai dengan QS. Al-Isra (17:78), yang berbunyi:
“Dirikanlah shalat dari setelah matahari tergelincir hingga gelap malam, dan (dirikanlah pula) shalat Subuh. Sungguh, shalat Subuh itu disaksikan.”
Penggunaan kata ilaa (hingga) dalam ayat ini menegaskan bahwa shalat harus berlangsung tanpa jeda dalam rentang waktu tersebut. Hanya shalat yang kontinu, seperti yang digambarkan dalam ‘alaa sholatihim daa-imuun, yang dapat memenuhi syarat ini.
Yushalli Allah: Membebaskan Manusia dari Kezaliman
Dalam QS. Al-Ahzab (33:43), Allah berfirman:
“Dialah yang bershalat atas kamu dan para malaikat-Nya, untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (nur).”
Pernyataan yushalli ‘alaikum di sini menunjukkan bahwa “shalat” Allah adalah bentuk kasih sayang dan pembebasan manusia dari kezaliman. Ayat ini sejajar dengan QS. Ibrahim (14:1), yang menyatakan bahwa Allah menurunkan kitab-Nya untuk membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Demikian pula, dalam QS. Al-Hadid (57:9), Allah berfirman bahwa Dia menurunkan ayat-ayat yang jelas (ayatin bayyinatin) dengan tujuan yang sama, yaitu membebaskan manusia dari kezaliman. Dengan demikian, yushalli Allah dapat dimaknai sebagai perwujudan ayat-ayat-Nya yang diturunkan untuk membimbing manusia menuju kebenaran.
Orang yang Tidak Shalat
Al-Qur’an juga menjelaskan tentang orang-orang yang tidak shalat dalam QS. Al-Qiyamah (75:31-32):
“Maka dia tidak membenarkan (ayat-ayat Allah) dan tidak pula shalat, tetapi malah mendustakan dan berpaling.”
Orang yang tidak shalat dicirikan sebagai orang yang mendustakan ayat-ayat Allah (kazzaba wa tawalla). Hal ini terkait dengan QS. Al-A’raf (7:146), yang menggambarkan orang-orang yang melihat jalan kebenaran tetapi tidak menempuhnya, sebaliknya justru memilih jalan kesesatan. Mereka ini mendustakan ayat-ayat Allah dan lalai terhadapnya.
Shalat dalam Al-Qur’an bukan sekadar ritual, melainkan memiliki dimensi yang lebih luas. Ia mencakup upaya untuk mencegah kejahatan dan kemungkaran, menjadi sumber kedamaian, serta membimbing manusia keluar dari kezaliman. Ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa shalat sejati melibatkan kesadaran, pemahaman, dan kontinuitas dalam hubungan dengan Allah. Dengan demikian, shalat yang sejati tidak hanya ritual fisik, tetapi juga mencakup penghayatan spiritual yang mendalam. (husni fahro)