ppmindonesia.com, Jakarta– Alqur’an 35:32 memberikan sebuah wawasan mendalam tentang konsep pewarisan kitab Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Dalam ayat tersebut, Allah mengklasifikasikan para pewaris kitab ke dalam tiga kelompok: dzalimun linafsihi (orang yang menzalimi dirinya sendiri), muqtashid (orang yang tertahan, atau tidak berhasil sepenuhnya memanfaatkan kitab), dan sabiqun bil khairat (orang yang berlomba dalam kebaikan). Ketiga kelompok ini mencerminkan berbagai tingkat penerimaan, pengamalan, dan pemanfaatan terhadap kitab yang Allah turunkan.
Kelompok Pertama: Dzalimun Linafsihi
Kelompok pertama, dzalimun linafsihi, mencakup mereka yang menzalimi dirinya sendiri dengan tidak mempercayai atau bahkan mendustakan ayat-ayat Allah. Alqur’an 6:21, 7:37, 18:57, dan 29:68 menegaskan bahwa tindakan mendustakan ayat Allah adalah bentuk kezaliman terbesar.
Orang-orang ini digambarkan sebagai mereka yang “berlepas diri” dari kitab yang diwariskan kepada mereka, memilih untuk mengikuti setan, sebagaimana disebutkan dalam Alqur’an 7:175-176. Mereka lebih mencintai kehidupan dunia dan akhirnya menjadi bagian dari golongan setan (hizbus syaithan), seperti disebutkan dalam Alqur’an 58:19.
Allah mengibaratkan orang-orang ini seperti anjing: jika diusir, mereka menjulurkan lidahnya; jika dibiarkan, tetap menjulurkan lidahnya (Alqur’an 7:176). Gambaran ini melukiskan betapa buruknya keadaan orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan menjadi lalai terhadap kebenaran (ghafilun).
Penyebab utama mereka berada dalam kondisi ini adalah karena mereka terlalu mencintai dunia, sebagaimana dijelaskan dalam Alqur’an 43:36, yang menyebutkan bahwa orang yang berpaling dari peringatan Allah akan dijadikan sahabat bagi setan.
Kelompok Kedua: Muqtashid
Kelompok kedua adalah muqtashid, yaitu mereka yang tidak sepenuhnya memanfaatkan kitab yang diwariskan kepada mereka. Mereka tidak menolak agama Allah, tetapi pengabdian mereka hanya sebatas permukaan, seperti dijelaskan dalam Alqur’an 22:11.
Mereka tidak menjalankan agama secara menyeluruh (kaffah), seperti yang diperintahkan dalam Alqur’an 2:208. Akibatnya, mereka gagal menjadi orang yang berketuhanan secara mendalam (rabbani), sebagaimana syaratnya dijelaskan dalam Alqur’an 3:79: untuk menjadi rabbani, seseorang harus mempelajari kitab Allah dan mengajarkannya.
Kelompok muqtashid ini tidak memiliki kesungguhan yang logis (haqqa jihadih) dalam memahami dan mengamalkan kitab Allah. Kesungguhan mereka belum memenuhi standar untuk mendapatkan kemudahan dalam memahami agama Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Alqur’an 22:78.
Padahal, Allah telah menjanjikan bahwa agama ini tidak sulit bagi mereka yang benar-benar berusaha (wa maa ja’ala ‘alaikum fid diini min haraj).
Banyak dari kelompok ini yang bersungguh-sungguh membaca Alqur’an hingga menghafalnya, tetapi mereka tidak memahami apa yang mereka baca. Dalam Alqur’an 2:121 ditegaskan bahwa orang yang akan benar-benar beriman adalah mereka yang membaca kitab Allah dengan telaah yang logis (yatlunahu haqqa tilawatihi).
Tanpa telaah logis, keimanan kepada kitab Allah menjadi sekadar klaim tanpa dasar. Sebagai pewaris kitab, mereka seharusnya bertanya kepada diri sendiri: Apa yang sebenarnya mereka percayai dari Alqur’an? Apakah isinya, atau hanya bentuk fisiknya?
Kelompok Ketiga: Sabiqun bil Khairat
Kelompok terakhir adalah sabiqun bil khairat, yaitu mereka yang berlomba dalam kebaikan. Alqur’an 23:55-61 memberikan kriteria tentang siapa sebenarnya orang-orang ini. Ayat tersebut dimulai dengan sebuah pertanyaan: Apakah kamu mengira bahwa keluasan rezeki dan banyaknya anak adalah tanda bahwa Allah menyegerakan kebaikan bagi mereka? Jawabannya adalah tidak.
Kebaikan sejati tidak diukur dengan harta atau keturunan, tetapi dengan hikmah yang Allah berikan, seperti disebutkan dalam Alqur’an 2:269: Barang siapa yang diberi hikmah, ia telah diberi kebaikan yang banyak.
Kelompok ini memiliki ciri khas berupa kesungguhan dan kecepatan dalam meraih kebaikan. Mereka memahami bahwa kebaikan sejati terletak pada hikmah yang Allah berikan melalui kitab-Nya. Mereka mempelajari, memahami, dan mengamalkan kitab Allah dengan penuh penghayatan dan pengabdian.
Refleksi dan Kesimpulan
Ketiga kelompok pewaris kitab ini memberikan pelajaran penting bagi setiap orang yang mengaku sebagai pewaris Alqur’an. Mereka yang menzalimi diri sendiri harus segera bertaubat dan kembali kepada kitab Allah sebelum terlambat. Bagi kelompok muqtashid, sudah saatnya meningkatkan pemahaman mereka terhadap kitab Allah dengan kesungguhan yang logis, tidak hanya berhenti pada level membaca atau hafalan.
Sementara itu, kelompok sabiqun bil khairat menjadi teladan bagi semua, karena mereka adalah contoh nyata bagaimana kitab Allah dapat membawa manusia menuju kebaikan yang hakiki.
Dalam konteks ini, penting bagi setiap muslim untuk bertanya kepada diri sendiri: Di manakah posisi saya sebagai pewaris kitab Allah? Apakah saya termasuk orang yang menzalimi diri sendiri, yang tertahan dalam pemanfaatan kitab, atau yang berlomba dalam kebaikan?
Pertanyaan ini menjadi awal refleksi menuju pengabdian yang sejati kepada Allah. Dan seperti yang dijanjikan Allah dalam Alqur’an 54:17: Sungguh, Kami telah memudahkan Alqur’an sebagai pelajaran, maka adakah yang mau mengambil pelajaran?(husni fahro)