ppmindonesia.com, Jakarta– Dalam Al-Qur’an, orang yang mencapai derajat taqwa memiliki karakteristik tertentu yang menunjukkan kualitas keimanan mereka. QS. Al-Baqarah (2):3-4 menjelaskan bahwa orang bertaqwa adalah juga orang yang beriman. Hal ini diperkuat dalam QS. Ali Imran (3):139 dan QS. Muhammad (47):35, yang menyatakan bahwa orang beriman memiliki status tertinggi di sisi Allah:
“Wa antumul a’launa in kuntum mu’minin” (Dan kamu adalah orang yang tertinggi jika kamu benar-benar beriman).
Sebagai orang dengan status tertinggi, mereka memiliki kecintaan yang paling utama kepada Allah, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah (2):165:
“Orang-orang yang beriman itu lebih sangat cintanya kepada Allah” (Asyaddu hubban lillah).
Ujian Kesungguhan Iman dalam Al-Qur’an
Kecintaan yang utama kepada Allah bukan sekadar klaim, tetapi harus dibuktikan melalui ujian kesungguhan iman. QS. At-Taubah (9):24 menjelaskan bahwa seseorang harus mengutamakan cintanya kepada Allah di atas segala hal yang dicintai di dunia ini:
“Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga kamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Ujian ini menegaskan bahwa cinta kepada Allah harus lebih utama dibandingkan dengan cinta kepada keluarga, harta, atau kenyamanan duniawi. Tanpa lulus dari ujian ini, seseorang belum mencapai tingkat keimanan yang sempurna.
Keterkaitan Cinta Utama kepada Allah dengan Pencapaian Al-Birra
Cinta yang lebih utama kepada Allah juga berkaitan dengan pencapaian Al-Birra. Dalam QS. Ali Imran (3):92, Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (Al-Birra), sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.”
Ayat ini menunjukkan bahwa mencapai Al-Birra memerlukan pengorbanan, yaitu mengorbankan apa yang dicintai demi kepatuhan kepada Allah.
Al-Birra itu sendiri dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah (2):177, yang menegaskan bahwa kebajikan bukan sekadar ritual fisik seperti menghadap ke timur atau barat, tetapi meliputi aspek iman, ketaatan, dan pengorbanan:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat itu suatu kebajikan, tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya; mendirikan shalat dan menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Dengan demikian, pencapaian Al-Birra bukanlah perkara mudah. Hal ini memerlukan pengorbanan harta yang dicintai, penguatan iman, ketaatan dalam ibadah, dan kesabaran dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Proses ini tentu diawali dengan lulus dari ujian kesungguhan iman seperti yang dijelaskan dalam QS. At-Taubah (9):24.
Ujian sebagai Cetak Biru Penciptaan Manusia
Ujian kesungguhan iman bukanlah sesuatu yang tiba-tiba atau tanpa alasan. Hal ini telah menjadi bagian dari cetak biru penciptaan manusia, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Insan (76):2-3:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur. Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan (yang benar); ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.”
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk diuji oleh Allah. Ujian ini bertujuan untuk melihat apakah manusia akan memilih jalan syukur atau jalan kufur. Allah telah memberikan manusia potensi pendengaran, penglihatan, dan akal untuk mengenali kebenaran. Dengan demikian, ujian ini merupakan bagian dari skenario besar kehidupan manusia.
Untuk mencapai derajat taqwa dan status tertinggi sebagai orang beriman, seseorang harus membuktikan cintanya yang paling utama kepada Allah. Hal ini dibuktikan melalui ujian kesungguhan iman sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah (9):24. Ujian ini menjadi syarat untuk mencapai Al-Birra, yaitu kebajikan yang sempurna, seperti dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah (2):177. Proses ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, melainkan telah ditetapkan sebagai bagian dari tujuan penciptaan manusia, sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Insan (76):2-3. Dengan memahami dan menjalani ujian ini, manusia dapat meraih derajat taqwa, kebajikan yang hakiki, dan kemuliaan di sisi Allah SWT.(husni fahro)