ppmindonesia.com, Jakarta-Pernyataan Al-Qur’an dalam Surah Al-Hadid (57:22) telah membuka perbincangan panjang yang berlangsung berabad-abad mengenai perbedaan pandangan antara dua mazhab pemikiran, yaitu Jabariah dan Qodariah. Perdebatan ini, yang tampaknya tidak akan pernah selesai, berakar pada klaim masing-masing mazhab bahwa mereka memiliki landasan kuat berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Penganut faham Qodariah, misalnya, menggunakan ayat-ayat seperti Surah Ar-Ra’d (13:11) yang menyatakan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Surah An-Najm (27:22) yang menyebutkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan hasil dari apa yang dia usahakan.
Dengan landasan ini, mereka menegaskan pentingnya usaha manusia dalam menentukan nasibnya. Mereka juga mengutip Surah Al-Kahfi (18:84) yang menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta memiliki sebab (“kullu syai-in sababa”). Selain itu, mereka mengingatkan bahwa hanya Allah yang tidak terikat oleh hukum sebab-akibat, karena Allah tidak termasuk dalam kategori “segala sesuatu.”
Penganut Qodariah juga menyoal berbagai aspek logis dari faham Jabariah. Jika segala sesuatu telah ditetapkan sebelumnya, mereka berpendapat, penciptaan manusia dengan otak dan hati menjadi tidak relevan.
Jika segalanya sudah ditentukan, tidak perlu ada usaha atau pemikiran untuk memahami sebab-akibat. Selain itu, apa guna Allah mengutus rasul jika perilaku manusia tidak dapat diubah, dan mengapa ada surga dan neraka jika semua keputusan sudah ditetapkan sejak awal? Dalam pandangan ini, tidak logis jika manusia diberi ganjaran atau hukuman atas sesuatu yang bukan merupakan perbuatannya.
Sebagai tambahan, mereka menyoroti banyaknya ayat Al-Qur’an yang menuntut manusia untuk menggunakan akal pikirannya. Al-Qur’an Surah Al-Anfal (8:22) menyebut manusia yang tidak berpikir dan mendengar sebagai makhluk terburuk. Ancaman lebih keras muncul dalam Surah Al-A’raf (7:179), yang menyebutkan bahwa mereka yang tidak menggunakan akal, pendengaran, dan penglihatan akan masuk neraka Jahannam dan derajatnya lebih buruk daripada binatang.
Dengan demikian, penganut Qodariah bertanya, kepada siapa ancaman ini diarahkan jika semua hal telah ditetapkan sebelumnya? Bahkan, doa untuk memohon panjang umur dianggap tidak relevan jika usia manusia sudah ditentukan sebelumnya.
Namun, Surah As-Sajdah (32:11) memberikan indikasi bahwa kematian dipengaruhi oleh sebab tertentu, seperti usaha menjaga kesehatan, yang dapat memperpanjang umur seseorang. Dalam ayat tersebut, kematian dikaitkan dengan kausalitas (“wukkila bikum”), yang menunjukkan bahwa manusia memiliki peran dalam menentukan nasibnya.
Sebaliknya, penganut faham Jabariah mendasarkan pandangan mereka pada ayat-ayat seperti Surah Al-Hadid (57:22), yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang menimpa manusia sudah tercatat dalam kitab sebelum terjadinya. Mereka memahami ayat ini sebagai bukti bahwa takdir manusia telah ditentukan sejak awal.
Namun, penting untuk mencatat bahwa ayat ini dilanjutkan dengan pernyataan dalam Surah Al-Hashr (59:18), yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan hari esok dan melakukan perencanaan yang matang. Dengan demikian, pernyataan “maa ashoba min mushibatin illaa fii kitaabin min qobli an nabroaha” tidak menafikan pentingnya usaha manusia, melainkan mendorong mereka untuk selalu siap menghadapi segala kemungkinan dengan stabilitas iman.
Stabilitas iman ini diperkuat oleh perintah agar manusia tidak berputus asa atas apa yang luput darinya dan tidak terlalu bergembira atas apa yang diperolehnya (QS Al-Hadid 57:23). Dengan demikian, pemahaman terhadap ayat ini memerlukan keseimbangan antara keyakinan pada takdir Allah dan tanggung jawab manusia dalam berusaha.
Pada akhirnya, perdebatan antara Jabariah dan Qodariah menunjukkan kompleksitas dalam memahami hubungan antara kehendak Allah dan usaha manusia. Meskipun masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat, penting untuk menggali lebih dalam dan mengintegrasikan ayat-ayat Al-Qur’an untuk memperoleh pemahaman yang lebih holistik dan seimbang.(husni fahro)