Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Menelaah Tafsir Al-Qur’an: Konflik Qadariyah dan Jabariyah dalam Perspektif Tafsirul Qur’an bi Al-Qur’an

265
×

Menelaah Tafsir Al-Qur’an: Konflik Qadariyah dan Jabariyah dalam Perspektif Tafsirul Qur’an bi Al-Qur’an

Share this article

ppmindonesia.com, Jakarta-Pada posisi ini, semakin jelas bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an yang saling bertentangan, termasuk dalam hal terkait pandangan Qadariyah dan Jabariyah. Al-Qur’an Surah 15:90-91 secara eksplisit menggambarkan betapa buruknya status orang yang menilai ayat-ayat Al-Qur’an sebagai sesuatu yang saling bertentangan.

Oleh karena itu, mereka yang berpandangan demikian perlu menelaah dengan seksama ayat-ayat tersebut. Ayat ini memberikan peringatan kepada siapa saja yang menyikapi ayat Al-Qur’an dengan cara yang keliru, yaitu dengan menganggap adanya kontradiksi di antara ayat-ayat-Nya.

Dapat diduga bahwa munculnya paham Jabariyah dan Qadariyah disebabkan oleh anggapan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang bertentangan, atau setidaknya karena mereka belum mampu menemukan korelasi yang tepat antara satu ayat dengan ayat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber tafsir terbaik.

Dalam hal ini, Al-Qur’an Surah 25:33 menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah “ahsana tafsiran” (tafsir terbaik). Namun, mereka malah mengambil posisi sebagai mufassir (penafsir) terhadap Al-Qur’an, seolah-olah ilmu mereka mampu melampaui tafsir yang Allah telah turunkan. Tindakan seperti itu jelas bertentangan dengan akal sehat, mengingat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tidak mungkin lebih mengetahui daripada Sang Pencipta.

Dalam realitasnya, dunia Islam memiliki banyak mufassir dengan kitab tafsir yang sangat beragam. Namun, pertanyaannya adalah, sehebat apa ilmu para mufassir tersebut? Apakah ilmu mereka sudah melampaui ilmu Allah sehingga berani tampil sebagai penafsir Al-Qur’an?

Tidak mustahil bahwa mereka sebenarnya berada dalam posisi yang digambarkan dalam Al-Qur’an Surah 34:45, yaitu sebagai orang-orang yang capaian ilmunya bahkan belum mencapai sepersepuluh dari Al-Qur’an, namun sudah mendustakannya. Atau, bisa jadi mereka adalah orang-orang yang “fī qulūbihim zaighun” (dalam hati mereka terdapat penyimpangan), yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dengan tujuan mencari-cari takwil.

Padahal, Al-Qur’an Surah 3:7 menegaskan bahwa tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat kecuali Allah, sementara orang-orang yang kokoh ilmunya (rāsikhūna fī al-‘ilm) berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat tersebut; semuanya dari sisi Tuhan kami.”

Perlu dicatat bahwa istilah “takwīl” dalam Al-Qur’an berasal dari kata “awwala-yu’awwilu-takwīlan,” yang berarti sesuatu yang menjadi asal mula dari suatu kejadian. Takwil dalam pengertian ini berbeda dengan takwil dalam bahasa Indonesia, yang sering diartikan sebagai dugaan atau perkiraan terhadap makna suatu pernyataan. Oleh karena itu, tindakan manusia yang berusaha memberikan takwil terhadap Al-Qur’an tanpa dasar yang benar dapat dikategorikan sebagai tindakan melampaui batas.

Dari sekian banyak kitab tafsir yang ada, hanya segelintir mufassir yang menggunakan metode “tafsīru al-Qur’an bi al-Qur’an,” yaitu menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya. Dua mufassir yang dikenal menggunakan metode ini adalah Sayyid Qutb dalam “Tafsir Fi Zilal al-Qur’an” dan Allāmah Tabāṭaba’ī dalam “Tafsīru al-Mīzān.” Meski penulis belum memiliki banyak informasi tentang kedua mufassir tersebut maupun kitab tafsir mereka, metode yang mereka gunakan patut diapresiasi.

Sebab, dengan menggunakan metode “tafsīru al-Qur’an bi al-Qur’an,” mereka menyadari bahwa Al-Qur’an adalah tafsir terbaik (ahsana tafsiran), sebagaimana ditegaskan dalam Surah 25:33. Artinya, cukup dengan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan Al-Qur’an itu sendiri, sehingga dapat menghindari asumsi manusiawi dan perbedaan interpretasi subjektif.

Mengambil posisi sebagai mufassir terhadap Al-Qur’an adalah tindakan yang melampaui batas, karena manusia bertindak sebagai penafsir atas sesuatu yang telah Allah tafsirkan. Tindakan seperti ini dipandang tidak patut, mengingat keterbatasan ilmu manusia. Bahkan, Al-Qur’an Surah 2:216 menegaskan bahwa sering kali manusia mengira sesuatu itu baik untuknya, padahal sebenarnya tidak, dan sebaliknya. Allah-lah yang mengetahui, sedangkan manusia tidak mengetahui.

Dalam konflik pemahaman antara Jabariyah dan Qadariyah, persoalan utamanya bukan hanya anggapan adanya ayat-ayat yang saling bertentangan, tetapi juga ketidakmampuan menemukan korelasi antara ayat-ayat Al-Qur’an sehingga tidak tampak bahwa Al-Qur’an adalah tafsir bagi dirinya sendiri.

Pendekatan “tafsīru al-Qur’an bi al-Qur’an” menjadi penting untuk digunakan, karena pendekatan ini tidak hanya lebih terhindar dari asumsi manusiawi tetapi juga mampu menghindari perbedaan interpretasi subjektif terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Prof. Dawam Rahardjo (alm.), pendiri Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), pernah menyatakan bahwa terhadap Al-Qur’an, manusia hanya dapat menyediakan diri untuk senantiasa disinari oleh pancaran Al-Qur’an sebagai “nūr” (cahaya) dengan cara mendengar dan mematuhinya.

Pernyataan ini benar adanya, karena Rasulullah hanya bertugas menyampaikan wahyu yang diterimanya (balāghul mubīn) sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah 5:92 dan 16:82. Bahkan dalam Surah 16:35, ditegaskan kembali bahwa tugas Rasulullah hanyalah menyampaikan wahyu, bukan menafsirkannya.

Rasulullah berbeda dengan para mufassir. Beliau tidak pernah memproduksi tafsir atau memberikan uraian terhadap Al-Qur’an yang bersifat interpretatif. Rasulullah hanya menyampaikan apa yang diwahyukan kepadanya tanpa mengada-ada (Surah 46:9). Berbeda dengan para mufassir, yang dengan segala keterbatasan manusiawinya sering kali tidak dapat menghindari subjektivitas dalam memberikan uraian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengakui keterbatasan kita sebagai manusia dan senantiasa mendekatkan diri kepada Al-Qur’an dengan sikap penuh kerendahan hati, tanpa mencoba melampaui batas yang telah ditetapkan oleh Allah. Pendekatan “tafsīru al-Qur’an bi al-Qur’an” merupakan cara terbaik untuk memahami Al-Qur’an, sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap keagungan kitab suci ini. (husni fahro)

Example 120x600