ppmindonesia.com, Jakarta-Kementerian Agama (Kemenag) Indonesia baru-baru ini mengungkapkan rincian Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) untuk tahun 2025 yang menarik perhatian publik. Meskipun total biaya yang diusulkan untuk tahun 2025 hampir sama dengan tahun 2024, terdapat kenaikan signifikan dalam beberapa komponen biaya yang dibebankan langsung kepada jamaah haji. Hal ini menimbulkan kebingungan dan kritik, terutama dari anggota DPR yang mempertanyakan konsistensi kebijakan pemerintah.
Rincian BPIH 2025
BPIH tahun 2025 yang diusulkan oleh Kemenag mencapai total Rp93.389.684,99. Dari angka tersebut, jamaah diharuskan membayar 70% atau sekitar Rp65.372.779,49, sementara Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menanggung sisanya, yaitu 30% atau Rp28.016.905. Meskipun angka total biaya hampir tidak berubah signifikan dibandingkan tahun 2024, yang diperkirakan mencapai Rp93,4 juta, terdapat pergeseran besar dalam pembebanan biaya antara jamaah dan BPKH.
Yang menjadi sorotan utama adalah kenaikan persentase komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibebankan kepada jamaah, yang tahun ini mencapai 70%, sedangkan pada tahun sebelumnya hanya 60%. Hal ini menyebabkan jumlah yang harus dibayar oleh setiap jamaah meningkat hampir Rp10 juta, dari Rp56 juta pada tahun 2024 menjadi sekitar Rp65 juta pada tahun 2025.
Komponen Biaya yang Dikenakan
Rincian biaya yang disampaikan oleh Kemenag untuk BPIH 2025 menunjukkan bahwa beberapa komponen mengalami kenaikan yang cukup besar, meskipun total biaya tidak berbeda jauh dari tahun sebelumnya. Berikut adalah lima komponen utama dalam BPIH 2025:
- Biaya penerbangan PP (pulang-pergi): Rp34.386.390,68
- Akomodasi di Makkah: Rp15.232.011,90
- Akomodasi di Madinah: Rp4.454.403,48
- Living cost (biaya hidup): Rp3.200.002,50
- Layanan masyarakat: Rp8.099.970,09
Kenaikan biaya ini tidak hanya berkaitan dengan inflasi atau fluktuasi nilai tukar mata uang, tetapi juga dengan peningkatan beberapa komponen biaya yang lebih dibebankan kepada jamaah haji, seperti biaya penerbangan dan akomodasi.
Kenaikan Bipih dan Kritik yang Muncul
Peningkatan yang paling terasa adalah pada komponen Bipih yang harus dibayar jamaah, yang naik hampir 10 juta rupiah dari tahun 2024. Hal ini mengundang kritik dari anggota Komisi VIII DPR, khususnya dari Fraksi Demokrat, yang mempertanyakan mengapa beban biaya jamaah justru meningkat meskipun Kemenag sebelumnya menjanjikan adanya penurunan biaya haji. Anggota DPR Nanang Samodra menyatakan kebingungannya, “Katanya biaya haji akan turun, tapi malah naik. Ini tidak konsisten dengan apa yang dijanjikan sebelumnya.”
Kritik ini semakin menguat karena tidak ada penurunan biaya yang signifikan, meskipun pemerintah telah berjanji untuk melakukan efisiensi. Nanang juga mempertanyakan pergeseran komponen biaya, di mana sebelumnya nilai manfaat dari BPKH yang dibebankan kepada jamaah sebesar 40% kini berkurang menjadi hanya 30%. Di sisi lain, persentase Bipih yang harus ditanggung jamaah naik menjadi 70%, yang tentu saja meningkatkan beban jamaah haji.
Tanggapan Pemerintah dan Arahan Presiden Prabowo
Pemerintah melalui Menteri Agama Nasaruddin Umar telah mengonfirmasi bahwa faktor-faktor eksternal seperti inflasi global dan nilai tukar dolar AS menjadi salah satu penyebab kenaikan biaya haji. Meski demikian,
Nasaruddin menekankan bahwa Kemenag berusaha untuk tetap melakukan efisiensi tanpa mengurangi kualitas pelayanan kepada jamaah haji. Pemerintah juga berencana untuk mengurangi beberapa biaya, seperti durasi haji yang lebih pendek, meskipun perubahan ini masih menunggu keputusan dari Pemerintah Arab Saudi.
Namun, instruksi Presiden Prabowo Subianto agar biaya haji dapat diturunkan tanpa mengurangi kualitas pelayanan tetap menjadi fokus utama. Dalam rapat dengan Kemenag, Presiden Prabowo meminta agar efisiensi biaya dilakukan dengan cara rasional, terutama dalam hal biaya penerbangan yang mencapai 35-40% dari total BPIH.
Kesimpulan dan Tindak Lanjut
Meskipun total BPIH 2025 tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan tahun 2024, kenaikan pada komponen yang dibebankan langsung kepada jamaah, khususnya pada Bipih, menimbulkan kebingungan dan kritik tajam dari masyarakat dan DPR. Oleh karena itu, diperlukan peninjauan kembali terhadap skema biaya haji yang diusulkan, agar dapat mencerminkan efisiensi yang diinginkan tanpa membebani jamaah haji.
Dengan arahan Presiden Prabowo yang menekankan efisiensi tanpa mengorbankan kualitas, diharapkan Kemenag dapat mencari solusi yang lebih adil dan terjangkau bagi masyarakat, sekaligus memastikan pelayanan haji tetap optimal. Penyesuaian terhadap komponen biaya dan pergeseran beban antara jamaah dan BPKH perlu dilakukan agar tujuan menurunkan biaya haji dapat tercapai dengan lebih baik.(asyary)