Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Jalan Tengah dalam Memahami Al-Qur’an: Antara Tafsir dan Takwil

244
×

Jalan Tengah dalam Memahami Al-Qur’an: Antara Tafsir dan Takwil

Share this article

ppmindonesia.com, Jakarta – Memahami Al-Qur’an adalah sebuah perjalanan intelektual dan spiritual yang melibatkan berbagai pendekatan. Dalam tradisi Islam, dua konsep utama yang sering dibahas adalah tafsir dan takwil. Tafsir merupakan upaya menjelaskan makna tekstual Al-Qur’an berdasarkan konteks bahasa, sejarah, dan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat).

Sementara itu, takwil lebih menitikberatkan pada penafsiran makna tersembunyi atau dimensi esoteris ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, keduanya sering kali menimbulkan dilema: bagaimana kita menemukan jalan tengah dalam memahami kitab suci ini tanpa terjebak pada interpretasi yang ekstrem?

Dalam Surah Ali Imran (3:7), Allah SWT menjelaskan adanya ayat-ayat yang muhkamat (jelas) dan mutasyabihat (samar). Ayat-ayat muhkamat merupakan landasan hukum dan keyakinan yang tidak memerlukan interpretasi mendalam, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat memerlukan pemahaman yang lebih kompleks.

Tafsir cenderung berfokus pada ayat-ayat muhkamat, sementara takwil sering kali digunakan untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat. Namun, Al-Qur’an juga menegaskan bahwa takwil ayat-ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya (rasikhuna fil ilmi) hanya mengatakan, “Kami beriman kepada ayat-ayat tersebut; semuanya dari sisi Tuhan kami.”

Dalam tradisi keilmuan Islam, mufassir seperti Imam Al-Tabari dan Ibn Kathir memfokuskan tafsir mereka pada penjelasan yang berbasis teks dan tradisi. Mereka berupaya menjaga agar pemahaman terhadap Al-Qur’an tetap berada dalam kerangka yang dapat dipahami oleh umat Islam pada masanya.

Di sisi lain, para pemikir seperti Al-Ghazali dan Ibn Arabi sering kali menggunakan pendekatan takwil untuk menggali makna batiniah Al-Qur’an, yang menurut mereka dapat membawa manusia pada pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat keberadaan.

Meski demikian, perbedaan pendekatan ini sering kali menimbulkan konflik di kalangan umat Islam. Tafsir terkadang dianggap terlalu kaku dan terbatas pada teks, sementara takwil dipandang berisiko membuka pintu bagi subjektivitas dan spekulasi yang tidak berdasar.

Dalam konteks ini, muncul kebutuhan untuk menemukan jalan tengah yang dapat mengakomodasi keduanya tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam.

Pendekatan jalan tengah ini dapat ditemukan dalam metode tafsir Al-Qur’an bil Qur’an, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan ayat-ayat lain dalam kitab yang sama. Metode ini diyakini lebih aman karena Al-Qur’an dianggap sebagai tafsir terbaik bagi dirinya sendiri (ahsana tafsiran).

Dalam Surah Al-Furqan (25:33), Allah menyatakan bahwa Dia menurunkan Al-Qur’an dengan penjelasan terbaik. Dengan demikian, pendekatan ini dapat mengurangi potensi kesalahan interpretasi yang disebabkan oleh subjektivitas manusia.

Selain itu, penting bagi umat Islam untuk mendekati Al-Qur’an dengan sikap rendah hati dan kesadaran akan keterbatasan manusia.

Sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah (2:216), “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Sikap ini membantu manusia untuk tetap berada dalam koridor pengabdian kepada Allah, tanpa berusaha memaksakan pemahaman yang melampaui kapasitasnya.

Rasulullah SAW, sebagai penerima wahyu, memberikan teladan yang jelas tentang bagaimana mendekati Al-Qur’an. Dalam Surah An-Nahl (16:82), Allah menegaskan bahwa tugas Rasulullah hanyalah menyampaikan wahyu (balaghul mubiin).

Rasulullah tidak bertindak sebagai mufassir dalam arti modern, melainkan sebagai penyampai pesan ilahi yang murni. Hal ini menunjukkan bahwa posisi manusia dalam memahami Al-Qur’an seharusnya lebih bersifat menerima daripada mendominasi.

Jalan tengah dalam memahami Al-Qur’an tidak hanya mencakup keseimbangan antara tafsir dan takwil, tetapi juga melibatkan upaya untuk mengintegrasikan pendekatan tekstual dan spiritual. Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, umat Islam dapat mendekati Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang holistik, yang tidak hanya memberikan aturan hukum tetapi juga menginspirasi kedalaman spiritual.

Pada akhirnya, memahami Al-Qur’an adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Tidak ada satu metode pun yang dapat sepenuhnya mencakup makna ilahi yang terkandung di dalamnya. Namun, dengan sikap rendah hati, keterbukaan, dan komitmen untuk mencari kebenaran, manusia dapat mendekati Al-Qur’an sebagai sumber cahaya dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Dengan demikian, tafsir dan takwil bukanlah dua kutub yang berlawanan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama, yang bersama-sama membantu manusia memahami pesan ilahi dengan lebih utuh.(husni fahro)

Example 120x600