ppmindonesia.com, Jakarta– Dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an, dua tokoh besar yang sering dikaji dan dibahas dalam konteks pemikiran dan metodologi tafsir adalah Sayyid Qutb dan Allamah Tabataba’i. Kedua pemikir ini, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, memiliki kontribusi yang signifikan dalam dunia tafsir. Salah satu pendekatan yang mereka kenalkan, atau lebih tepatnya mereka tekankan, adalah penggunaan tafsirul Qur’an bil ayatil Qur’an — penafsiran Al-Qur’an dengan merujuk pada ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an. Pendekatan ini dianggap sebagai cara yang lebih menyeluruh dan mendalam dalam memahami wahyu Allah.
Sayyid Qutb dan Konteks Pemikiran Tafsirnya
Sayyid Qutb (1906–1966), seorang pemikir besar dari Mesir, dikenal dengan pendekatan tafsirnya yang sangat dipengaruhi oleh pandangan ideologis dan sosial. Karyanya yang paling terkenal, Fi Zilal al-Qur’an (Dalam Naungan Al-Qur’an), merupakan tafsir yang tidak hanya menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga mengaitkannya dengan konteks sosial, politik, dan ideologi.
Qutb menekankan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang hidup dan relevan untuk seluruh umat manusia, yang dapat dijadikan pedoman dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Dalam tafsirnya, Qutb sangat konsisten menggunakan pendekatan tafsirul Qur’an bil ayatil Qur’an. Ia percaya bahwa untuk memahami suatu ayat, seorang mufassir harus merujuk pada ayat lain yang berkaitan dengan tema yang sama. Dengan cara ini, ia berusaha menjaga kesinambungan makna dan mencegah pemahaman yang parsial atau terpotong-potong.
Bagi Qutb, pendekatan ini memungkinkan terciptanya pemahaman yang lebih kontekstual dan sesuai dengan kondisi umat Islam pada masa itu.
Allamah Tabataba’i dan Pendekatan Filosofisnya dalam Tafsir
Berbeda dengan Sayyid Qutb, Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i (1903–1981), seorang ulama besar Iran, mengembangkan pendekatan tafsir yang lebih filosofis dan rasional. Karya monumental beliau, Tafsir al-Mizan, adalah tafsir yang mendalam dan komprehensif, yang menekankan pentingnya memahami Al-Qur’an dalam konteks integral antara teks dan konteks sosial-keagamaan.
Tabataba’i juga menekankan pentingnya tafsirul Qur’an bil ayatil Qur’an dalam upaya untuk mencapai pemahaman yang lebih sempurna tentang wahyu.
Tabataba’i meyakini bahwa setiap ayat dalam Al-Qur’an memiliki hubungan yang erat dengan ayat lainnya, dan untuk memahami suatu ayat secara lebih mendalam, seorang mufassir harus memperhatikan ayat-ayat lain yang memiliki tema serupa.
Pendekatan ini dianggap sangat penting untuk mencegah salah tafsir yang bisa merusak makna asli dari wahyu. Dalam pandangan Tabataba’i, Al-Qur’an adalah wahyu yang memiliki kedalaman makna, dan untuk menyelami makna-makna tersebut, pemahaman yang sistematis dan menyeluruh sangat dibutuhkan.
Tafsirul Qur’an bil Ayatil Qur’an sebagai Pendekatan Ideal
Baik Sayyid Qutb maupun Allamah Tabataba’i sepakat bahwa tafsirul Qur’an bil ayatil Qur’an adalah metode yang sangat penting dalam upaya memahami Al-Qur’an secara benar dan menyeluruh. Pendekatan ini mencegah terjadinya tafsir yang terburu-buru atau berdasarkan pemahaman sepihak yang dapat menyesatkan umat. Dengan merujuk pada ayat-ayat lain yang berkaitan, seorang mufassir akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan koheren mengenai maksud Allah dalam wahyu-Nya.
Namun, meskipun keduanya menggunakan pendekatan yang serupa, cara mereka mengaplikasikannya dapat berbeda, sesuai dengan latar belakang pemikiran dan tujuan sosial yang mereka tekankan. Sayyid Qutb lebih menekankan relevansi sosial dan politik Al-Qur’an, sehingga tafsirnya sering kali mengarah pada penafsiran yang ideologis dan kontemporer. Sementara itu, Tabataba’i mengedepankan pemahaman filosofis dan spiritual, yang lebih mendalam dalam aspek intelektual dan metafisik.
Keutamaan Pendekatan Ini dalam Tafsir
1.Menjaga Kesesuaian Kontekstual
Dengan merujuk pada ayat-ayat lain yang relevan, tafsirul Qur’an bil ayatil Qur’an menjaga agar makna ayat tetap sesuai dengan konteksnya, baik itu konteks sejarah, sosial, maupun spiritual.
2.Menghindari Penafsiran yang Sempit
Pendekatan ini mencegah terjadinya tafsir yang terpotong-potong atau hanya berfokus pada satu aspek saja, sehingga pemahaman yang dihasilkan lebih holistik dan seimbang.
3.Memperkuat Pemahaman Spiritual dan Filosofis
Dengan melihat keterkaitan antar ayat, pendekatan ini juga memperkuat pemahaman spiritual dan filosofi dari Al-Qur’an yang tidak hanya relevan untuk satu zaman, tetapi universal dan abadi.
Dalam kesimpulannya, tafsirul Qur’an bil ayatil Qur’an adalah pendekatan ideal yang diajarkan oleh Sayyid Qutb dan Allamah Tabataba’i. Meskipun keduanya mengaplikasikan metode ini dengan cara yang berbeda, inti dari pemikiran mereka tetap sama: untuk memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh, relevan, dan sesuai dengan tuntunan Allah. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya tafsir, tetapi juga membantu umat Islam memahami Al-Qur’an secara lebih komprehensif, kontekstual, dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.(husni fahro)