Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Sejarah dan Perkembangan Pusat Peranserta Masyarakat (PPM)

289
×

Sejarah dan Perkembangan Pusat Peranserta Masyarakat (PPM)

Share this article

ppmindonesia.com, Jakarta- Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) didirikan pada awal tahun 1980-an sebagai respons terhadap kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kebijakan ini dirasakan sebagai upaya membatasi ruang gerak aktivitas politik mahasiswa.

Merespons kondisi ini, sejumlah aktivis dan tokoh mahasiswa seperti Adi Sasono (Direktur Lembaga Studi Pembangunan – LSP), Dawam Rahardjo (Direktur LP3ES), dan Ali Mustafa Trajutisna (Dhworowati Institute) memelopori gerakan dakwah bil hal, yang awalnya dilakukan melalui lokakarya di Malang dan Yogyakarta.

Gerakan dakwah pembangunan ini kemudian menyebar ke seluruh Indonesia, dimulai dari Jakarta melalui LSP dan kelompok pemulung yang dipelopori oleh Mujito dan Salma Al Farisi, yang kemudian mendirikan Yayasan Ummu Salamah.

Di Bandung, gerakan ini dijalankan oleh Bina Karya yang dipimpin oleh Ali Thoyib dan Adin Restiadi. Di kota-kota lain seperti Semarang, Solo, Malang, Bali, dan Lombok, berbagai lembaga swadaya masyarakat turut andil dalam memperkuat gerakan pemberdayaan masyarakat berbasis dakwah pembangunan.

Kiprah PPM dalam Pemberdayaan Masyarakat

Pada tahun 1996, PPM mengadakan Semiloka Melayu Antar Bangsa I yang dihadiri oleh Menteri Besar Selangor, Tan Sri Muhammad Taib, bersama aktivis dan pengusaha muda Malaysia.

Selanjutnya, PPM juga menginisiasi program-program strategis, seperti seminar merger bank, lokakarya nasional otonomi daerah, dan berbagai kerja sama dengan pemerintah, termasuk program Kredit Usaha Tani (KUT) pada 1999.

Program KUT, yang merupakan inisiatif Departemen Koperasi di bawah kepemimpinan Adi Sasono, melibatkan PPM melalui Koperasi Peranserta Masyarakat (KOPERMAS) sebagai pelaksana.

Meski program ini berorientasi pada peningkatan taraf hidup petani, banyak dana yang dialokasikan untuk mendukung usaha pendamping seperti penyediaan sarana produksi, pupuk, dan pasca produksi. Ketidaksesuaian administratif dalam nomenklatur pemerintahan menyebabkan beberapa aktivis PPM menghadapi masalah hukum.

Pada tahun 2002, PPM bekerja sama dengan CIDES Konsultam Persada dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir di Jawa Barat. Program ini berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pantai.

Di sisi lain, pada 1995, PPM bersama Yayasan Asmad dan KNPI mengembangkan program pemberdayaan pedagang kecil, termasuk membentuk Asosiasi Pedagang Grosir Keliling se-Indonesia (APGKI) yang bekerja sama dengan beberapa BUMN.

Gerakan pembinaan dan pengembangan terhadap membuat pengembangan terhadap Pedagang Kali Lima, di dukung oleh Departemen Koperasi, Departemen Perindustrian.

Gerakan pembinaan dan pengembangan terhadap membuat pengembangan terhadap Pedagang Kali Lima, di dukung oleh Departemen Koperasi, Departemen Perindustrian.Kegiatan ini merupakan cikal bakal lahirnya Lembaga Jaringan Pengembangan Sektor Informal

Pengembangan Pesantren Kejuruan mendapat dukungan dari Deparetemen Pendidikan yang menterinya ketika itu Wardiman Joyonegoro, sebagai pailot proyek nya adalah berdirinya Pesanteran Kejuruan Ummatan Washaton di Tanjung Alaih Padang Sumatra Barat, kemudian di susul berdirinya Pesantren Kejuruan Ummmatan Washathon di berbagai daerah antara lain di Imogiri Jogyakarta, Ngadiluweh Kediri, Bondowoso JawaTimur

Transformasi Kepemimpinan PPM

Dalam perjalanannya, struktur kepemimpinan PPM mengalami perubahan. Awalnya, pada 1985, kepemimpinan berbentuk Dewan Direktur. Pada 1989, struktur berubah menjadi presidium nasional dengan model presidensial. Namun, karena kevakuman kepemimpinan selama dua tahun, pada 2021 diadakan pertemuan nasional luar biasa yang menghasilkan keputusan untuk menggunakan model presidium kolektif kolegial.

Tantangan dan Kemunduran PPM di Era Milenial

Sejak tahun 2000-an, PPM menghadapi tantangan besar. Perubahan karakter masyarakat yang menjadi lebih konsumtif, individualis, dan kurang peduli terhadap sesama membuat daya tarik organisasi seperti PPM menurun. Berbeda dengan ormas lain yang bergantung pada donasi atau proyek pemerintah, PPM berfokus pada program berbasis kemandirian dan sinergi dengan pemerintah.

Faktor ini, ditambah dengan kurangnya regenerasi yang relevan dengan kebutuhan zaman, menyebabkan kemunduran PPM, terutama setelah 2005. Banyak aktivis PPM juga terjun ke dunia politik, mendirikan atau bergabung dengan partai politik, seperti Partai Daulat Rakyat dan Partai Republik.

Strategi Revitalisasi PPM

Agar tetap relevan dan diminati generasi milenial serta Gen Z, PPM perlu mengambil langkah strategis untuk merevitalisasi diri. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:

1. Revitalisasi dan Rebranding
Mengintegrasikan visi generasi 1980-an dan 1990-an dengan kebutuhan generasi saat ini untuk memastikan kesinambungan dan daya tarik organisasi.

2. Pengembangan Gerakan Ekonomi Rakyat
Fokus pada pemberdayaan petani, nelayan, dan pedagang kecil dengan program-program yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

3. Adaptasi Teknologi Informasi
Mengadopsi teknologi digital dalam berbagai aspek organisasi untuk menjangkau dan melibatkan generasi muda secara efektif.

4. Kaderisasi yang Fleksibel
Mengembangkan model kaderisasi berbasis lembaga swadaya fungsional (LSF) atau UMKM yang relevan dengan minat dan kebutuhan Gen Z.

5. Kolaborasi Strategis
Bermitra dengan pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta, untuk memperkuat gerakan pemberdayaan masyarakat.

6. Program Nasional yang Berkelanjutan
Mengembangkan program-program nasional yang relevan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat saat ini.

Dengan langkah-langkah ini, PPM dapat menjaga relevansi dan perannya sebagai organisasi kemasyarakatan yang berbasis kemandirian dan swadaya, sekaligus menarik minat generasi muda untuk terlibat dalam gerakan pemberdayaan masyarakat. (asyary)

Example 120x600