ppmindonesia.com, Jakarta – Al-Qur’an adalah kitab suci yang diyakini oleh umat Islam sebagai wahyu langsung dari Allah SWT, menjadi petunjuk hidup bagi manusia. Dalam Surah Al-Furqan (25:33), Allah menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah “ahsana tafsiran,” yaitu penjelasan terbaik yang tidak membutuhkan tambahan dari manusia.
Namun, dalam perjalanan sejarah, Al-Qur’an tidak hanya diposisikan sebagai pedoman, tetapi juga sebagai objek yang ditafsirkan oleh para mufassir. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah Al-Qur’an seharusnya hanya menjadi nur yang menuntun manusia, atau sah jika ia juga diperlakukan sebagai objek interpretasi?
Al-Qur’an sebagai Nur yang Menuntun
Dalam banyak ayat, Al-Qur’an digambarkan sebagai cahaya (nur) yang membimbing umat manusia keluar dari kegelapan menuju terang. Surah Al-Ma’idah (5:15-16) menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah “cahaya dan kitab yang jelas” yang membawa petunjuk bagi orang-orang yang beriman.
Sebagai nur, Al-Qur’an memberikan arahan moral, spiritual, dan praktis yang menuntun manusia menuju jalan yang lurus (shiratal mustaqim). Dalam konteks ini, manusia dituntut untuk mendengar, memahami, dan mengikuti wahyu tanpa mencoba mendominasi atau mengubah makna yang terkandung di dalamnya.
Pendekatan ini mengedepankan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang sempurna, yang tidak memerlukan campur tangan manusia untuk menjelaskan maknanya. Sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah (2:2), “Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Dengan demikian, peran manusia hanyalah menerima, menginternalisasi, dan mengamalkan pesan-pesan ilahi dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Qur’an sebagai Objek yang Ditafsir
Di sisi lain, kebutuhan untuk menafsirkan Al-Qur’an muncul karena kompleksitas konteks historis, bahasa, dan budaya di mana wahyu diturunkan. Para mufassir, seperti Imam Al-Tabari dan Ibn Kathir, merasa perlu untuk menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an agar relevan dengan umat Islam pada zamannya.
Tafsir berkembang sebagai disiplin ilmu yang mencoba menggali makna tekstual dan kontekstual Al-Qur’an dengan memanfaatkan ilmu bahasa, sejarah, dan asbabun nuzul.
Namun, tindakan menafsirkan Al-Qur’an ini tidak terlepas dari kritik. Ada kekhawatiran bahwa interpretasi manusia, yang selalu terpengaruh oleh subjektivitas dan keterbatasan, dapat mengaburkan pesan ilahi yang murni.
Sebagaimana diperingatkan dalam Surah Ali Imran (3:7), “Orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan akan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya.” Ayat ini menjadi peringatan bahwa tidak semua orang memiliki kapasitas untuk memahami kedalaman makna Al-Qur’an tanpa jatuh ke dalam kesalahan.
Mencari Keseimbangan
Antara posisi Al-Qur’an sebagai nur yang menuntun dan sebagai objek tafsir, diperlukan keseimbangan. Pendekatan tafsir Al-Qur’an bil Qur’an, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan ayat-ayat lain dalam kitab yang sama, dapat menjadi jalan tengah yang aman. Metode ini menghindari pengaruh subjektivitas manusia dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai penjelasan terbaik bagi dirinya sendiri.
Selain itu, penting untuk diingat bahwa memahami Al-Qur’an adalah sebuah proses yang membutuhkan kerendahan hati. Sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah (2:216), “Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.
” Sikap ini menegaskan bahwa manusia, dengan segala keterbatasannya, tidak akan pernah sepenuhnya mampu memahami seluruh pesan ilahi yang terkandung dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, manusia perlu mendekati kitab suci ini dengan niat untuk mendapatkan petunjuk, bukan untuk mendominasi atau memaksakan interpretasi tertentu.
Al-Qur’an adalah nur yang menuntun sekaligus kitab yang sering dijadikan objek tafsir. Sebagai cahaya, ia memberikan petunjuk yang jelas dan abadi bagi manusia. Namun, sebagai objek tafsir, ia juga mengundang manusia untuk berpikir, merenung, dan menggali makna yang lebih dalam.
Tantangan terbesar adalah menjaga keseimbangan antara kedua pendekatan ini, sehingga Al-Qur’an tetap menjadi sumber petunjuk ilahi yang murni tanpa terdistorsi oleh subjektivitas manusia. Dengan demikian, umat Islam dapat menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang holistik, yang tidak hanya memberikan arahan praktis tetapi juga inspirasi spiritual yang mendalam.(husni fahro)