ppmindonesia.com, Jakarta – Pernyataan Al-Qur’an dalam Surah Ar-Rum 30:28 mengajarkan tentang standar solidaritas manusia yang sangat tinggi. Ayat ini menggambarkan bagaimana manusia diharapkan memiliki kepedulian terhadap sesamanya setara dengan kepedulian terhadap diri sendiri (“yakhoofunahum kakhifatikum anfusakum”)
. Standar solidaritas ini menjadi fondasi perdamaian dunia karena sumber konflik dan permusuhan dapat diatasi dengan cara menghilangkan kecenderungan jahat dari setiap individu. Sebaliknya, hati manusia perlu dipenuhi dengan rahmat Allah sehingga timbul kebencian terhadap segala bentuk kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Pengorbanan yang diperlukan untuk membangun moralitas masyarakat dengan standar solidaritas seperti ini tidak sebanding dengan kerugian yang akan terjadi jika kecenderungan jahat dibiarkan. Untuk itu, dibutuhkan program yang memasukkan rahmat Allah dalam hati manusia, yakni program pemberangusan hawa nafsu jahat dengan kekuatan rahmat Allah.
Keseluruhan manusia adalah ciptaan Allah dan akan kembali kepada-Nya. Semua rasul membawa risalah dari sumber yang sama, meskipun dengan bahasa yang berbeda sesuai dengan kaumnya (lihat QS 4:163-165 dan QS 14:4). Allah juga menegaskan bahwa tidak ada perubahan dalam ketetapan agama yang diwahyukan-Nya (lihat QS 33:62, QS 35:43, dan QS 48:23). Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk bersengketa atau bermusuhan hanya karena perbedaan interpretasi risalah kerasulan.
Namun, sebagaimana disebutkan dalam QS Ar-Rum 30:29, standar solidaritas “yakhoofunahum kakhifatikum anfusakum” tidak diterima oleh orang-orang zalim. Mereka memilih mengikuti hawa nafsu mereka, meskipun Al-Qur’an memperingatkan bahwa orang yang mempertuhankan hawa nafsu tidak akan mendapatkan petunjuk dari Allah (lihat QS 25:43 dan QS 43:25).
Sebagai solusi, QS Ar-Rum 30:30 mengarahkan manusia untuk kembali kepada agama yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia (“ad-dien fithratallah allatii fatharonnasa ‘alaiha”), dengan catatan bahwa sebagian besar manusia tidak memahami fitrah agama tersebut.
Selanjutnya, QS Ar-Rum 30:31-32 memberikan petunjuk untuk menegakkan fitrah agama dengan cara kembali kepada Allah (“muniibiina ilaihi”), bertakwa kepada-Nya, menegakkan salat, dan menghindari kemusyrikan.
Ayat ini juga mengidentifikasi bentuk kemusyrikan yang paling banyak terjadi di kalangan umat beragama, yaitu tafarruq fiddien (“berpecah-belah dalam agama”) dan bergolong-golongan (“farroquu dinahum wa kanuu syi’an kullu hizbin bimaa ladayhim farihun”). Tafarruq ini sering dianggap sebagai hal biasa oleh banyak umat beragama, padahal Al-Qur’an dengan tegas melarangnya.
Bukti nyata tafarruq dapat dilihat dalam pertemuan antar golongan yang biasanya diwakili oleh petinggi dari masing-masing golongan. Meskipun pertemuan tersebut sering diklaim sebagai upaya kebersamaan, justru hal ini menunjukkan bahwa mereka memang bergolong-golongan. Jika mereka benar-benar bersatu dalam satu organisasi keagamaan, maka tidak perlu ada wakil dari golongan lain.
Kemusyrikan akibat tafarruq fiddien ini menjadi penyakit yang sudah berlangsung lama, sehingga sulit diberantas dan kerap dianggap wajar. Padahal, jika umat Islam bersatu dan menghindari tafarruq, potensi mereka sangat besar. Misalnya, dengan mayoritas umat Islam di Indonesia, seharusnya lebih mudah memilih pemimpin yang sesuai dengan ajaran agama.
Selain itu, pengelolaan zakat dan sedekah yang optimal dapat memperkuat ekonomi umat secara signifikan, sebagaimana dinyatakan dalam QS 9:60 dan QS 9:103.
Sebagai refleksi, kondisi dunia Islam yang tercerai-berai saat ini sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memusuhi umat Islam. Dalam konteks sejarah, ada kekhawatiran terhadap potensi persatuan umat Islam yang tercerahkan, seperti ketika mayoritas anggota Kabinet Pembangunan dan DPR RI berlatar belakang HMI. Persatuan internal umat Islam saat itu dianggap sebagai ancaman bagi ketahanan nasional.
Dengan demikian, penting untuk memahami bahwa tafarruq fiddien adalah bentuk kemusyrikan yang harus dihindari. Umat Islam perlu kembali kepada ajaran Al-Qur’an yang mendorong persatuan dan solidaritas tinggi, sehingga mampu membangun kehidupan yang damai, adil, dan sejahtera sesuai dengan fitrah penciptaannya.(husni fahro)