ppmindonesia.com, Jakarta – Persatuan dalam agama adalah salah satu prinsip utama yang diajarkan dalam Al-Qur’an, tetapi kenyataannya, umat Islam saat ini menghadapi tantangan besar berupa perpecahan atau tafarruq fid dien.
Al-Qur’an dengan jelas memperingatkan bahaya perpecahan ini dalam QS Ar-Rum 30:31-32 dan QS Al-An’am 6:159, di mana Allah mencela orang-orang yang memecah agama mereka menjadi golongan-golongan (“farroquu dinahum wa kanuu syi’an kullu hizbin bimaa ladayhim farihun”). Realitas ini sangat relevan dengan kondisi umat Islam saat ini yang sering kali terpecah dalam berbagai organisasi, aliran, dan praktik keagamaan.
Konsep tafarruq fid dien ini memiliki dampak signifikan terhadap kekuatan kolektif umat Islam. Sebagaimana dinyatakan dalam QS Ar-Rum 30:28, solidaritas antar manusia harus berada pada tingkat tertinggi, yaitu mencemaskan orang lain sebagaimana mencemaskan diri sendiri (“yakhoofunahum kakhifatikum anfusakum”).
Namun, standar solidaritas ini sering kali sulit dicapai ketika perpecahan dalam agama masih marak terjadi. Bahkan, dalam QS Ar-Rum 30:29 disebutkan bahwa sebagian orang zalim lebih memilih mengikuti hawa nafsu mereka daripada menjunjung tinggi persatuan dan kepedulian sosial.
Bahaya tafarruq fid dien semakin nyata ketika umat Islam tidak menyadari bahwa perpecahan ini adalah bentuk kemusyrikan yang sangat tua usianya, sebagaimana dijelaskan dalam QS Ar-Rum 30:31-32.
Kemusyrikan ini sering kali tidak diakui oleh umat beragama karena dianggap sebagai bentuk ekspresi keberagamaan masing-masing golongan. Padahal, Al-Qur’an menegaskan bahwa persatuan adalah fitrah manusia (“ad-dien fithratallah allatii fatharonnasa ‘alaiha”), dan sebagian besar manusia tidak memahami pentingnya menjaga fitrah ini (QS Ar-Rum 30:30).
Dalam konteks umat Islam di Indonesia, tafarruq fid dien menjadi tantangan besar yang menghambat potensi kolektif mereka. Dengan mayoritas penduduk Muslim, umat Islam memiliki peluang besar untuk menciptakan kepemimpinan yang adil dan sistem ekonomi yang kuat melalui pengelolaan zakat dan sedekah sesuai dengan QS 9:60 dan QS 9:103.
Namun, perpecahan internal sering kali membuat umat Islam mudah diadu domba dan kehilangan kekuatan kolektifnya. Hal ini bahkan terlihat dalam politik, di mana umat Islam yang mayoritas sering kali disebut sebagai mayoritas yang lemah karena mudah terpecah.
Studi komparatif terhadap kondisi umat Islam saat ini menunjukkan bahwa tafarruq fid dien adalah penyakit kronis yang telah berlangsung lama. Dalam banyak kasus, perpecahan ini dianggap normal dan bahkan diperlukan untuk menjaga identitas masing-masing golongan.
Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa persatuan umat Islam sering kali dianggap sebagai ancaman oleh pihak-pihak tertentu. Contohnya, pada masa Kabinet Pembangunan di Indonesia, mayoritas anggota DPR dan kabinet yang berlatar belakang HMI sempat dianggap sebagai ancaman bagi ketahanan nasional karena dianggap terlalu kuat.
Untuk mengatasi tafarruq fid dien, umat Islam perlu kembali kepada ajaran Al-Qur’an yang menekankan persatuan dan solidaritas. QS Ar-Rum 30:30-32 menegaskan pentingnya kembali kepada Allah, bertakwa, menegakkan shalat, dan menjauhi kemusyrikan. Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini, umat Islam dapat mengatasi perpecahan dan membangun kekuatan kolektif yang harmonis.
Sebagai refleksi, umat Islam perlu melihat tafarruq fid dien sebagai ancaman nyata yang menghalangi mereka dari mencapai kejayaan dan kekuatan kolektif. Dengan memahami pentingnya persatuan dan menerapkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam dapat mengatasi perpecahan dan menuju masa depan yang lebih baik dan bermartabat.(husni fahro)