ppmindonesia.com. Jakarta-Pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, kini menjadi medan konflik yang mempertaruhkan keberlangsungan hidup ribuan nelayan tradisional melawan kekuatan besar proyek pembangunan. Penemuan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang membentang melintasi zona pesisir telah memunculkan polemik yang melibatkan kepentingan masyarakat pesisir, kebijakan pemerintah, dan kemungkinan keterkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) Tropical Coastland di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
Pagar ini tidak hanya membatasi akses para nelayan ke laut, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang prioritas pemerintah dalam mengelola tata ruang pesisir: untuk masyarakat atau untuk proyek pembangunan besar?
Dampak Langsung pada Nelayan Tradisional
Keberadaan pagar bambu setinggi enam meter ini berdampak langsung pada kehidupan 3.888 nelayan dan 502 pembudi daya di enam kecamatan pesisir Tangerang. Dengan akses laut yang terhalang, mereka tidak lagi bisa melaut dengan leluasa, yang secara langsung memengaruhi mata pencaharian dan kesejahteraan ekonomi mereka.
Laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan utama bagi masyarakat pesisir kini terasa semakin jauh dari jangkauan. Konflik ini menunjukkan bahwa kebijakan tata ruang yang tidak berpihak pada masyarakat rentan memarjinalkan kelompok kecil yang bergantung pada sumber daya alam.
Zona Laut yang Beririsan dengan Proyek Besar
Menurut Peraturan Daerah (Perda) No. 1/2023, zona laut yang kini dipagari bambu ini termasuk dalam area pemanfaatan umum, mencakup zona pelabuhan, perikanan tangkap, pariwisata, budidaya perikanan, hingga pengelolaan energi. Namun, letaknya yang berdekatan dengan Proyek Strategis Nasional PIK 2 memunculkan dugaan bahwa pembangunan pagar ini terkait dengan kepentingan besar, termasuk reklamasi atau persiapan pengembangan wilayah baru.
Meski pemerintah belum secara resmi mengaitkan pagar ini dengan PSN atau PIK 2, publik sudah menaruh kecurigaan besar. Apalagi, tidak ada izin atau proposal resmi yang terdaftar untuk pembangunan pagar laut ini. Situasi ini semakin memperkeruh hubungan antara masyarakat pesisir dengan pihak-pihak yang dianggap memanfaatkan sumber daya laut untuk kepentingan segelintir orang.
Ketimpangan Kekuasaan: Nelayan vs Proyek Strategis Nasional
Konflik ini mencerminkan ketimpangan kekuasaan antara kelompok nelayan tradisional yang minim akses terhadap pengaruh politik dan ekonomi, dengan aktor-aktor besar yang didukung oleh status “Proyek Strategis Nasional.” Dalam banyak kasus, proyek-proyek besar sering kali mengabaikan hak masyarakat lokal demi percepatan pembangunan.
Para nelayan yang bergantung pada ruang laut tidak hanya kehilangan akses fisik, tetapi juga merasa hak-hak mereka diabaikan. Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan hadir sebagai penengah yang adil, namun kenyataannya, lemahnya penegakan hukum justru membuat konflik ini terus berlarut-larut.
Pemerintah dan Tanggung Jawab Penegakan Hukum
Hingga saat ini, investigasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan tim gabungan lainnya belum menemukan siapa pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar laut ini. Keberadaan pagar sepanjang 30 kilometer tanpa izin resmi menjadi ironi dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum Indonesia.
Pemerintah pusat maupun daerah sering kali hanya berhenti pada imbauan untuk menghentikan pembangunan, tanpa tindakan nyata seperti pembongkaran pagar atau pemberian sanksi. Situasi ini memunculkan pertanyaan serius: apakah pemerintah benar-benar tidak tahu, atau ada pembiaran yang disengaja?
Solusi untuk Konflik yang Berlarut-larut
Konflik ini hanya dapat diselesaikan jika pemerintah bertindak tegas dan transparan dalam mengusut tuntas siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar laut. Selain itu, diperlukan upaya untuk menyeimbangkan antara kepentingan pembangunan nasional dengan hak masyarakat lokal.
Langkah konkret yang perlu diambil adalah:
1. Pembongkaran Pagar Laut: Jika terbukti ilegal, pagar ini harus segera dibongkar untuk mengembalikan akses masyarakat pesisir.
2. Penguatan Tata Ruang Berbasis Partisipasi: Pemerintah harus melibatkan masyarakat pesisir dalam setiap proses perencanaan tata ruang untuk memastikan kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan mereka.
3. Regulasi yang Ketat untuk Proyek Strategis Nasional: Proyek besar seperti PSN harus diawasi dengan ketat agar tidak mengorbankan kepentingan masyarakat kecil.
Konflik penggunaan lahan di pesisir Tangerang menjadi potret nyata tantangan yang dihadapi masyarakat pesisir di tengah laju pembangunan. Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya pada laut kini harus berhadapan dengan kekuatan besar proyek pembangunan yang sering kali mengabaikan keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan konflik ini. Tidak hanya demi melindungi hak masyarakat pesisir, tetapi juga untuk memastikan bahwa pembangunan di Indonesia berjalan secara adil dan berkelanjutan. Tanpa solusi yang tepat, konflik ini akan terus menjadi luka bagi masyarakat pesisir yang kian tersisih oleh arus pembangunan.(asyary)