Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Babak Baru Pemagaran Laut di Pesisir Utara Tangerang

377
×

Babak Baru Pemagaran Laut di Pesisir Utara Tangerang

Share this article
Foto: Penyegelan pagar laut di pesisir Tangerang, Banten. (Dok. KKP)

ppmindonesia.com, Jakarta – Selama hampir lima bulan, misteri siapa yang membangun pagar laut sepanjang 30 kilometer di pesisir utara Tangerang menjadi perbincangan hangat. Namun, akhirnya kelompok nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) mengakui bahwa pagar laut tersebut dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat.

Pagar tersebut, menurut mereka, berfungsi sebagai pemecah ombak, pencegah abrasi, dan langkah mitigasi terhadap ancaman gempa megathrust serta gelombang tsunami.

Tarsin, salah satu perwakilan nelayan, menyampaikan bahwa proyek pemagaran ini merupakan inisiatif swadaya yang didanai dan dikerjakan oleh masyarakat pesisir. Ia menepis berbagai opini negatif yang menyebut pagar tersebut merugikan masyarakat setempat.

Menurutnya, tanggul ini justru memiliki fungsi vital dalam melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi, mencegah abrasi, dan melestarikan lingkungan ekosistem pantai yang selama ini menjadi tempat tinggal dan mata pencaharian masyarakat nelayan.

Opini Publik dan Polemik yang Berkembang

Meski sudah ada pengakuan dari kelompok nelayan, keraguan masyarakat tetap mengemuka. Banyak pihak yang mencurigai keterlibatan proyek besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pantai Indah Kapuk (PIK). Namun, hingga saat ini, baik pemerintah pusat maupun daerah belum memberikan kepastian atau bukti atas tuduhan tersebut.

Doni Ismanto Darwin, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), menyatakan bahwa pihaknya masih dalam tahap mengumpulkan bahan keterangan (pulbaket) untuk memastikan pihak yang bertanggung jawab atas pemagaran laut ini.

Menurutnya, pengelolaan wilayah pesisir harus memperhatikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang mengatur pemanfaatan kawasan pesisir dengan mempertimbangkan ekosistem serta kepentingan masyarakat lokal.

Ironisnya, wilayah pesisir ini dihuni oleh sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya ikan yang sebagian besar bergantung pada akses laut sebagai sumber mata pencaharian.

Pemagaran laut yang dilakukan secara swadaya ini justru memunculkan pertanyaan: siapa pihak yang selama ini melakukan protes? Apakah ada kepentingan kelompok tertentu yang menggunakan nama nelayan untuk memobilisasi penolakan?

TNI dan KKP Bertindak Setelah Viral

Pada 9 Januari 2025, pasca isu ini viral di media sosial, TNI bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel lokasi pemagaran laut tersebut. Alasannya adalah tidak adanya izin resmi atas pembangunan pagar tersebut. Namun, langkah ini memunculkan pertanyaan: mengapa KKP baru bertindak setelah isu ini ramai diberitakan?

Suharyanto, salah satu pejabat terkait, menyatakan bahwa proses perizinan wilayah laut membutuhkan kajian ekologi yang ketat, yang tampaknya belum dilakukan dalam proyek ini.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Nusron Wahid, serta Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK), Agus Harimurti Yudhoyono. Keduanya mengaku belum menerima informasi rinci tentang pembangunan pagar tersebut.

Tuduhan Terhadap Agung Sedayu Group

Di tengah polemik ini, muncul tuduhan bahwa pembangunan pagar laut ini terkait dengan Agung Sedayu Group, perusahaan yang sering dikaitkan dengan proyek besar di wilayah pesisir. Namun, kuasa hukum perusahaan, Muannas Alaidid, dengan tegas membantah keterlibatan kliennya.

Menurutnya, hingga saat ini tidak ada bukti atau fakta hukum yang mengaitkan Agung Sedayu Group dengan pemagaran laut tersebut. Ia juga menegaskan bahwa perusahaan memiliki komitmen tinggi terhadap keterlibatan masyarakat lokal dalam setiap proyek pembangunan.

Refleksi dan Tantangan

Kasus ini menunjukkan ironi besar dalam pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Pemerintah pusat, daerah, serta aparat terkait tampak gagap dan lambat dalam merespons persoalan yang berdampak langsung pada masyarakat. Di sisi lain, kelompok nelayan pesisir yang mengklaim bertanggung jawab atas pembangunan ini justru menghadapi keraguan publik.

Hal ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan wilayah laut harus mengutamakan keberlanjutan ekosistem, perlindungan terhadap masyarakat pesisir, dan transparansi dalam proses perizinan. Nelayan sebagai tulang punggung ekonomi pesisir harus mendapatkan jaminan atas akses dan hak mereka terhadap laut yang menjadi sumber penghidupan utama.

Jika pembangunan tanggul memang bertujuan melindungi lingkungan dan masyarakat, langkah ke depannya harus dilandasi proses hukum yang jelas dan persetujuan seluruh pihak terkait.

Kasus pemagaran laut ini bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga cerminan tata kelola yang masih jauh dari ideal. Apakah pemagaran dapat dilanjutkan jika izin dipenuhi? Atau akankah polemik ini terus berlanjut tanpa ada titik temu yang memuaskan semua pihak? Hanya waktu yang akan menjawab.(asyary)

Example 120x600