ppmindonesia.com, Jakarta – Di pesisir Utara Tangerang, sebuah pagar laut sepanjang 30 kilometer tiba-tiba muncul dan langsung menjadi bahan perbincangan.
Pembangunan tanpa informasi yang jelas ini memicu spekulasi di masyarakat dan menimbulkan beragam pertanyaan. Apakah pagar laut ini benar-benar hasil swadaya masyarakat, atau ada kepentingan lain di baliknya?
Klaim Swadaya Masyarakat
Setelah lima bulan menjadi misteri, Kelompok Nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) akhirnya mengaku sebagai pihak yang membangun pagar laut tersebut.
Menurut Tarsin, perwakilan JRP, pagar itu dibuat secara swadaya oleh masyarakat setempat sebagai upaya mitigasi ancaman bencana seperti abrasi, tsunami, dan gelombang besar. Tarsin menegaskan bahwa proyek ini merupakan bentuk kepedulian nelayan terhadap lingkungan pesisir yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.
“Pagar ini bukan hanya sebagai pemecah ombak, tetapi juga untuk mencegah abrasi dan melindungi ekosistem pesisir,” ujar Tarsin dalam konferensi pers di Pantai Karang Serang, Kabupaten Tangerang.
Ia juga membantah opini negatif yang menyebut bahwa pagar ini merugikan masyarakat pesisir, terutama nelayan. Namun, klaim ini justru memunculkan lebih banyak pertanyaan.
Spekulasi Keterlibatan Pihak Lain
Opini publik berkembang bahwa pagar laut ini mungkin terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) Tropical Coastland yang terletak di Pantai Indah Kapuk (PIK).
Beberapa warga menduga pembangunan ini melibatkan pihak swasta besar seperti Agung Sedayu Group, perusahaan yang dikenal mengelola proyek besar di kawasan tersebut. Namun, tuduhan ini dibantah oleh kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, yang menyatakan bahwa kliennya sama sekali tidak terlibat.
“Kami tegaskan bahwa tidak ada bukti maupun fakta hukum yang mengaitkan Agung Sedayu Group dengan pagar laut ini,” kata Muannas.
Pernyataan ini tidak menghentikan spekulasi, karena masyarakat masih bertanya-tanya bagaimana proyek besar seperti ini bisa dilakukan tanpa dukungan sumber daya yang signifikan.
Reaksi Pemerintah yang Lamban
Polemik semakin memanas ketika pemerintah pusat dan daerah mengaku tidak mengetahui keberadaan pagar laut ini hingga viral di media sosial. Pada 9 Januari 2025, pasukan TNI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel lokasi pembangunan pagar laut tersebut karena tidak memiliki izin resmi.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto Darwin, menyatakan bahwa pihaknya masih mengumpulkan data untuk mengetahui pihak yang bertanggung jawab.
Hal senada disampaikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Nusron Wahid, serta Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK), Agus Harimurti Yudhoyono. Keduanya mengaku belum mengetahui informasi lengkap tentang pagar laut ini dan meminta waktu untuk melakukan investigasi.
Ironisnya, ketidaktahuan pemerintah ini menimbulkan kesan lemahnya pengawasan terhadap wilayah pesisir yang seharusnya menjadi perhatian utama. Apalagi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas mengatur bahwa pemanfaatan ruang laut harus melalui izin resmi dan mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem serta kepentingan masyarakat setempat.
Dampak pada Masyarakat Pesisir
Wilayah pesisir utara Tangerang dihuni oleh sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya ikan yang menggantungkan hidup pada laut. Kehadiran pagar laut ini, meskipun diklaim bertujuan melindungi lingkungan, justru memicu kekhawatiran.
Banyak nelayan mengeluhkan bahwa pagar tersebut membatasi akses mereka ke laut yang menjadi sumber penghidupan utama.
Lebih jauh, muncul aksi protes dari kelompok yang mengatasnamakan nelayan, yang menyebut bahwa pembangunan pagar laut ini merugikan masyarakat pesisir.
Namun, fakta bahwa kelompok nelayan JRP justru mengaku sebagai pelaku pembangunan menimbulkan kebingungan. Apakah semua nelayan sepakat dengan proyek ini, atau ada kelompok tertentu yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan pribadi?
Sebuah Refleksi
Pemagaran laut di pesisir utara Tangerang membuka banyak persoalan terkait pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Di satu sisi, ada upaya masyarakat untuk melindungi lingkungan dari ancaman bencana alam. Namun, di sisi lain, minimnya transparansi, perencanaan, dan pengawasan menciptakan polemik yang tidak kunjung usai.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah dan masyarakat bahwa pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara transparan, berkelanjutan, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Jika benar proyek ini murni hasil swadaya masyarakat, maka pemerintah seharusnya mendukungnya dengan memberikan legalitas dan pendampingan yang sesuai.
Namun, jika terbukti ada pihak lain di balik proyek ini, maka investigasi menyeluruh harus dilakukan untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat pesisir tetap terlindungi.
Hingga kini, misteri siapa sebenarnya yang berada di balik pembangunan pagar laut ini masih belum terpecahkan. Apakah benar proyek ini adalah murni inisiatif masyarakat, atau ada kekuatan besar yang bersembunyi di baliknya? Yang jelas, pengelolaan wilayah pesisir harus tetap mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan ekosistem sebagai prioritas utama.(asyary)