Oleh; Zaenal Abidin
Bismillahirrahmanirrahim.
ppmindonesia.com, Jakarta – Sesuatu hal tentunya boleh kita pertanyakan dan diuji untuk memastikan otentitas nya.
Islam mengajarkan kita untuk kritis, menggunakan logika secara analitik dan komprehensif. QS An Nisa ayat 82 memerintahkan kita untuk melakukan tadabur, yaitu kajian yang mendalam.
Seorang marketing tentunya harus logik dan terukur dalam upaya meyakinkan konsumen atas kualitas barang atau jasa yang ditawarkannya.
Klaim saja atas kualitas akan mengakibatkan fatal, apalagi dengan sengaja memanipulasi otentitas kualitas. Klaim tersebut harus disertai dengan bukti otentik tentunya.
Beberapa tahun ke belakang, seantero jagat NKRI dihebohkan oleh kasuistik diragukannya otentitas Ijazah. Keraguan tersebut terus bergulir hingga Pengadilan.
Saat ini terjadi fenomenal krusial, yaitu diragukannya ketersambungan nasab Ba’alawi terhadap Baginda Rasul Muhammad. Hal ini tentunya bukan karena tanpa sebab, banyak sekali kejanggalan yang menjadikan makin kuatnya keraguan atas ketersambungan nasab tersebut.
Klaim ijazah saja menjadi masalah serius, apalagi klaim atas nasab mulia Baginda Rasul, tokoh paripurna dunia. Kemuliaan Baginda Rasul bisa disalahgunakan oleh orang yang mengaku-ngaku Dzuriyah nya.
Penulis sependapat dengan yang disampaikan HRS dalam pidatonya beberapa waktu silam, bahwa banyak yang mengaku-ngaku habib, dan HRS meminta kepada mereka supaya dapat membuktikan otentitas nasab nya melalui ilmu sejarah, ilmu nasab, dan test DNA.
Framing yang digaungkan “kalian tidak usah ikut-ikutan”. Ini adalah doktrin dan cenderung pembodohan. Doktrin ini tidak boleh dibiarkan, dan kita kawal hingga tuntas riset nasab ini.
Pertanyaan besarnya, kenapa mereka bersikukuh atas gelar habib nya tersebut dan semua orang di doktrin atas ketersambungan nasab nya? Bukankah kemuliaan seseorang itu terletak pada ILMU dan KETAKWAAN.
Miris banget, tiba-tiba ada fatwa mengharamkan test DNA. Nampak sekali mereka tidak siap menerima otentitas nasab nya.
Penulis sangat berharap kepada pemerintahan baru ini baik Bupati, Gubernur, dan Presiden menjadi katalisator pembuktian atas kaidah-kaidah Ilmiah sehingga segera diputuskan kepastian ada tidaknya ketersambungan nasab Ba’alawi terhadap Baginda Rasul”.
Bergelar habib ataupun tidak bergelar habib, bukankah kita bisa bersama-sama terus berdakwah untuk membangun negeri yang selalu menempatkan nilai-nilai religius menjadi sumber rujukan dalam kehidupan kita, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
Mengaku-ngaku nasab tanpa otentitas adalah tercela. Berlapang dada dalam kajian ilmiah adalah solusi terbaik.(zaenal abidin)
Allahu Akbar.
Wallahu A’lam Bishawab.