Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Pujian Murni: Mengurai Makna Alhamdulillah dalam Perspektif Al-Qur’an

234
×

Pujian Murni: Mengurai Makna Alhamdulillah dalam Perspektif Al-Qur’an

Share this article

ppmindonesia.com, Jakarta Pujian adalah fitrah manusia. Hampir setiap individu, baik dalam kehidupan sosial, profesional, maupun spiritual, memiliki hasrat untuk mendapatkan pengakuan atau penghargaan atas apa yang telah dicapainya.

Bahkan dalam dunia yang penuh dosa, para pelaku kejahatan sekalipun mendambakan pengakuan atas “keunggulan” mereka, seperti menjadi yang paling produktif atau paling ditakuti. Ini menunjukkan bahwa pujian adalah salah satu bentuk penghargaan yang diharapkan oleh manusia, tanpa memandang konteksnya.

Namun, Al-Qur’an memberikan sudut pandang yang berbeda terhadap konsep pujian ini. Dalam Surah Al-Isra’ (17:78-79), Allah menjelaskan bahwa pujian tertinggi bukan berasal dari manusia, melainkan dari Allah.

Ayat tersebut menyebutkan bahwa siapa saja yang berharap dibangkitkan ke maqaman mahmuda (kedudukan yang terpuji), perlu berusaha lebih dari sekadar rutinitas ibadah biasa. Salah satu upaya tambahan yang dianjurkan adalah melaksanakan shalat Tahajjud di sebagian malam, sebagai bentuk pengabdian ekstra yang dilakukan dengan ikhlas.

Allah, Pemilik Pujian yang Hakiki

Makna frasa Alhamdulillah yang sering diucapkan umat Islam mengandung kedalaman luar biasa. Secara harfiah, frasa ini dapat diterjemahkan menjadi “segala puji bagi Allah.” Namun, jika dikaji lebih mendalam, maknanya melampaui sekadar ungkapan penghormatan. Alhamdulillah juga bermakna “pujian itu milik Allah.” Artinya, Allah adalah satu-satunya pemilik pujian, sehingga Dialah yang berhak memberikan pujian dan penilaian terhadap makhluk-Nya.

Logikanya, yang memiliki pujian adalah yang berhak menilai dan memberi penghargaan. Dalam konteks ini, hanya Allah yang layak memberikan penilaian atas amal ibadah manusia, sebab semua bentuk pengabdian sejatinya dipersembahkan kepada-Nya. Maka, Allah tidak hanya sebagai objek pujian, tetapi juga pemilik pujian yang secara logis berhak memberi kedudukan terpuji kepada makhluk-Nya.

Pujian yang Terkadang Salah Arah

Ironisnya, dalam praktik kehidupan beragama, sering terjadi penyimpangan dalam memahami konsep pujian ini. Banyak manusia memberikan pujian kepada sesamanya seolah-olah pengabdian yang dilakukan ditujukan kepada mereka.

Padahal, semua amal ibadah sejatinya hanya ditujukan kepada Allah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah logis jika manusia memuji Allah seolah-olah mereka menilai prestasi Allah? Bukankah logisnya pujian diberikan oleh Allah kepada makhluk-Nya, karena Dialah yang menjadi tujuan segala pengabdian?

Dalam Islam, manusia tidak berada pada posisi untuk menilai Allah. Sebaliknya, manusia adalah makhluk yang bergantung kepada Allah, dan segala amal yang dilakukannya adalah untuk memenuhi hak-hak pengabdian kepada-Nya. Maka, ungkapan Alhamdulillah tidak boleh dipahami sebagai bentuk evaluasi manusia atas “prestasi” Allah, tetapi sebagai pengakuan bahwa segala pujian hanya milik Allah.

Maqaman Mahmuda: Bukti Pujian Allah kepada Hamba-Nya

Kendati pujian adalah milik Allah, Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah, dalam kasih sayang-Nya, berkenan memberikan penghargaan kepada hamba-Nya. Dalam Surah Al-Isra’ (17:79), Allah menjanjikan kedudukan terpuji (maqaman mahmuda) kepada hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh beribadah, termasuk melalui amal tambahan seperti Tahajjud. Janji ini menunjukkan bahwa Allah adalah pemilik mutlak pujian, dan pujian-Nya kepada hamba-Nya merupakan bentuk penghargaan yang diberikan dengan keadilan dan kebijaksanaan.

Allah tidak membutuhkan pujian dari makhluk-Nya, tetapi Dia memberikan penghargaan kepada mereka yang berusaha memenuhi hak-hak pengabdian kepada-Nya. Ini menegaskan bahwa Allah bukan hanya pemilik pujian, tetapi juga pemberi pujian kepada makhluk yang benar-benar layak menerimanya.

Menghidupkan Makna Alhamdulillah

Dalam memahami makna Alhamdulillah, penting untuk merenungkan perbedaan antara dua konsep:

1.Pujian itu milik Allah, yang berarti bahwa hanya Allah yang memiliki otoritas mutlak untuk memberikan pujian atau penghargaan kepada makhluk-Nya.

2.Segala puji bagi Allah, yang berarti bahwa semua bentuk pujian sejatinya diarahkan kepada Allah dan tidak ada makhluk yang pantas mendapatkannya kecuali dengan izin-Nya.

Pemahaman ini membawa kita kepada kesadaran bahwa pengabdian manusia hanya ditujukan kepada Allah, dan tidak ada makhluk lain yang berhak atas pengakuan atau penghormatan tersebut.

Dengan demikian, manusia tidak hanya diwajibkan untuk mengarahkan segala amal kepada Allah, tetapi juga untuk menyadari bahwa hanya Allah yang memiliki hak mutlak untuk menilai dan memberikan penghargaan atas pengabdian tersebut.

Makna Alhamdulillah dalam perspektif Al-Qur’an mengajarkan konsep pujian yang murni dan transendental. Pujian sejati hanya milik Allah, dan hanya Dialah yang berhak memberikan penghargaan kepada makhluk-Nya.

Janji Allah tentang kedudukan terpuji (maqaman mahmuda) adalah bentuk penghargaan tertinggi yang dapat diraih manusia, yang hanya dapat dicapai melalui pengabdian ikhlas dan usaha tambahan. Dengan memahami makna Alhamdulillah, kita tidak hanya memperbaiki pemahaman tentang pujian, tetapi juga memperdalam pengabdian kepada Allah sebagai pemilik dan pemberi pujian yang hakiki.(husni fahro)

Example 120x600