Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Di Balik Pagar Laut: Perebutan Kekuasaan dan Kepentingan Bisnis

245
×

Di Balik Pagar Laut: Perebutan Kekuasaan dan Kepentingan Bisnis

Share this article
ersonel Kopaska TNI AL membongkar pagar laut yang terpasang di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1/2025). (merdeka.com/Arie Basuki).

ppmindonesia.com, Jakarta – Polemik terkait keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Kabupaten Tangerang, Banten, telah menjadi sorotan Nasional. Pagar ini mencakup wilayah dari 16 kecamatan, meliputi tiga desa di Kecamatan Kronjo, tiga desa di Kecamatan Kemiri, empat desa di Kecamatan Mauk, satu desa di Kecamatan Sukadiri, tiga desa di Kecamatan Pakuhaji, dan dua desa di Kecamatan Teluknaga.

Tidak hanya sekadar membatasi perairan, pagar laut ini menimbulkan berbagai persoalan serius terkait legalitas, tanggung jawab, dan tarik-menarik kepentingan antara institusi pemerintah dan elite kekuasaan.

Polemik Legalitas: Sertifikat di Laut yang Tidak Mungkin Dimiliki

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan bahwa area laut yang dibatasi pagar ini ternyata telah disertifikasi.

Sebanyak 263 bidang laut di Banten tercatat memiliki Hak Guna Bangunan (HGB). Rinciannya, 234 bidang dimiliki oleh PT Intan Agung Makmur, 20 bidang oleh PT Cahaya Inti Sentosa, sembilan bidang oleh perseorangan, dan 17 bidang lainnya telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).

Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono, dengan tegas menyatakan bahwa sertifikat-sertifikat tersebut ilegal. Menurutnya, wilayah laut di Indonesia adalah milik umum yang tidak dapat dimiliki atau diperjualbelikan. “Di dasar laut itu tidak boleh ada sertifikat.

Jadi itu sudah jelas ilegal,” ujar Trenggono di Istana Negara. Pernyataan ini mencerminkan adanya pelanggaran serius dalam penerbitan sertifikat, yang seharusnya tidak terjadi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ironinya, publik sering kali hanya menyalahkan pihak-pihak yang mengajukan sertifikat, sementara proses penerbitan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak mendapat perhatian.

Bagaimana mungkin sebuah lembaga resmi menerbitkan sertifikat di wilayah yang menurut hukum tidak dapat dimiliki? Pertanyaan ini menuntut jawaban dan investigasi mendalam untuk menelusuri potensi pelanggaran prosedural di dalam institusi pemerintah.

Pembongkaran Pagar Laut: Konflik antara KKP dan TNI AL

Masalah semakin rumit ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan TNI Angkatan Laut (TNI AL) menunjukkan perbedaan sikap terkait pembongkaran pagar laut tersebut. Panglima TNI Jenderal Agus Subianto memerintahkan TNI AL untuk membongkar pagar laut tersebut tanpa menunggu hasil investigasi lebih lanjut.

Proses ini melibatkan pasukan khusus TNI AL, seperti Komando Pasukan Katak (Kopaska) dan Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair), serta sejumlah kapal pendukung, termasuk kapal patroli dan tugboat.

Di sisi lain, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono memilih langkah yang lebih hati-hati. Ia menegaskan pentingnya mengetahui terlebih dahulu siapa pihak di balik pembangunan pagar laut tersebut sebelum mengambil tindakan pembongkaran. Menurutnya, langkah TNI AL dilakukan tanpa berkoordinasi dengan kementeriannya. Ketidaksepahaman ini memunculkan kesan adanya ketegangan antara dua lembaga yang seharusnya bekerja sama dalam menyelesaikan persoalan ini.

Perebutan Kekuasaan di Balik Pagar Laut

Beberapa pengamat menilai polemik ini lebih dari sekadar urusan legalitas atau pengelolaan laut. Pegiat media sosial, Denny Siregar, menyebut pembongkaran pagar laut ini mencerminkan tarik-menarik kepentingan di tingkat elit pemerintahan. Presiden Prabowo Subianto, sebagai Panglima TNI, berada di balik keputusan pembongkaran pagar laut tersebut.

Namun, langkah TNI AL yang dipimpin oleh Panglima TNI dinilai tidak sejalan dengan Menteri KKP, yang juga merupakan bagian dari kabinet Presiden Prabowo.

Situasi ini seolah mencerminkan adanya “dua matahari kembar” di dalam pemerintahan. Di satu sisi, TNI AL mengeksekusi perintah pembongkaran sebagai bentuk penegakan hukum. Di sisi lain, KKP terlihat lebih memilih pendekatan birokrasi dan kehati-hatian untuk memastikan langkah yang diambil memiliki landasan hukum yang kuat.

Kepentingan Bisnis dan Dampaknya terhadap Publik

Keberadaan pagar laut yang mencakup ratusan bidang bersertifikat ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan bisnis besar. PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa menjadi aktor utama yang diduga memanfaatkan celah administrasi untuk mengamankan kepemilikan wilayah laut.

Di tengah situasi ini, publik menjadi korban dari praktik-praktik yang melanggar hukum, baik dalam bentuk terbatasnya akses ke laut maupun kerusakan ekosistem yang dapat terjadi akibat privatisasi wilayah perairan.

Kasus pagar laut di Tangerang tidak hanya menggambarkan konflik institusi dalam pemerintah, tetapi juga mencerminkan lemahnya tata kelola administrasi pertanahan di Indonesia.

Tarik-menarik kepentingan antara pemerintah, militer, dan korporasi menunjukkan perlunya reformasi mendalam dalam pengelolaan wilayah publik.

Investigasi yang menyeluruh dan transparan harus dilakukan untuk mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab, baik dari sisi penerbit sertifikat maupun pemilik sertifikat.

Pada saat yang sama, koordinasi antarinstansi harus diperbaiki untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Laut adalah milik bersama, dan keberadaannya harus dijaga demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bukan segelintir pihak yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi. (asyary)

Example 120x600