Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Dua Matahari di Kabinet? Pagar Laut: Simbol Tarik-Menarik Kepentingan di Tingkat Elite

247
×

Dua Matahari di Kabinet? Pagar Laut: Simbol Tarik-Menarik Kepentingan di Tingkat Elite

Share this article
DIBONGKAR -TNI Angkatan Laut membongkar pagar bambu di laut Tangerang, (ppm.doc)

ppmindonesia.com, Jakarta-Keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Kabupaten Tangerang, Banten, telah memicu kontroversi besar. Pagar yang meliputi 16 kecamatan ini tidak hanya menjadi persoalan hukum terkait legalitas, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang konflik internal di antara para pemegang kekuasaan.

Ketegangan yang terjadi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan TNI Angkatan Laut (TNI AL) dalam menyikapi pembongkaran pagar tersebut mencerminkan adanya tarik-menarik kepentingan yang lebih besar di tingkat elite pemerintahan.

Polemik Pagar Laut: Legalitas yang Dipertanyakan

Polemik bermula dari fakta mengejutkan bahwa area laut yang seharusnya menjadi milik publik ternyata memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkapkan bahwa terdapat 263 bidang di area perairan ini yang telah bersertifikat, dengan kepemilikan mayoritas berada di tangan korporasi besar seperti PT Intan Agung Makmur (234 bidang) dan PT Cahaya Inti Sentosa (20 bidang).

Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dengan tegas menyatakan bahwa sertifikat-sertifikat tersebut ilegal. Menurutnya, peraturan di Indonesia tidak mengizinkan wilayah laut dimiliki oleh individu atau perusahaan. “Laut adalah milik umum. Sertifikat di dasar laut tidak sah secara hukum,” ujarnya.

Keberadaan sertifikat ini tidak hanya memunculkan pertanyaan tentang integritas korporasi yang mengajukan, tetapi juga tentang proses penerbitan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Publik semakin mempertanyakan bagaimana mungkin institusi resmi negara dapat mengeluarkan dokumen kepemilikan untuk wilayah yang seharusnya tidak dapat dimiliki.

Konflik di Tingkat Institusi: KKP vs. TNI AL

Polemik semakin memanas ketika TNI AL dan KKP menunjukkan perbedaan tajam dalam menyikapi pembongkaran pagar laut. Di bawah komando Panglima TNI Jenderal Agus Subianto, TNI AL memutuskan untuk membongkar pagar tersebut tanpa menunggu proses investigasi yang lebih mendalam.

Operasi pembongkaran ini melibatkan pasukan khusus, termasuk Komando Pasukan Katak (Kopaska) dan Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair), serta kapal-kapal patroli yang dikerahkan untuk menuntaskan tugas.

Sebaliknya, Menteri KKP memilih pendekatan yang lebih hati-hati. Trenggono menegaskan bahwa langkah pembongkaran tidak boleh dilakukan tanpa mengetahui terlebih dahulu pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar tersebut. Ia juga menyoroti bahwa pembongkaran oleh TNI AL dilakukan tanpa berkoordinasi dengan kementeriannya. Perbedaan pendekatan ini menimbulkan tanda tanya besar: mengapa dua institusi yang berada di bawah pemerintahan yang sama tidak mampu menyelaraskan tindakan mereka?

Dua Matahari di Kabinet: Konflik Kepentingan di Tingkat Elite

Kasus pagar laut ini kemudian menjadi simbol adanya perpecahan atau tarik-menarik kepentingan di tingkat elite pemerintahan. Pegiat media sosial, Denny Siregar, menyebut situasi ini sebagai “dua matahari di kabinet.” Presiden Prabowo Subianto, yang juga merupakan Panglima Tertinggi TNI, berada di balik keputusan pembongkaran pagar laut. Langkah ini seolah menegaskan keberpihakannya pada penegakan hukum secara langsung di lapangan.

Namun, di sisi lain, Menteri KKP, yang juga merupakan bagian dari kabinet Presiden Prabowo, terlihat mengambil langkah yang berseberangan. Ketidakselarasan ini memberikan kesan adanya perbedaan agenda antara dua lembaga yang seharusnya bekerja di bawah visi dan misi yang sama. Situasi ini tidak hanya mencerminkan lemahnya koordinasi, tetapi juga membuka ruang spekulasi tentang konflik kepentingan di balik layar.

Simbol Tarik-Menarik Kepentingan

Keberadaan pagar laut ini bukan hanya persoalan hukum dan tata kelola, tetapi juga menjadi cerminan bagaimana kepentingan bisnis, politik, dan kekuasaan saling bertarung di balik kebijakan publik. Perusahaan-perusahaan besar yang berhasil mendapatkan sertifikat untuk wilayah laut menunjukkan bagaimana korporasi mampu memanfaatkan celah regulasi dan lemahnya pengawasan untuk kepentingan mereka.

Di sisi lain, langkah pembongkaran oleh TNI AL tanpa koordinasi menimbulkan spekulasi bahwa ada agenda yang lebih besar di balik keputusan tersebut. Apakah ini murni upaya penegakan hukum, ataukah ada kepentingan tertentu yang ingin ditegaskan?

Ketidakselarasan ini semakin menguatkan anggapan bahwa kasus pagar laut merupakan medan pertarungan antara berbagai kekuatan di dalam pemerintahan.

Pelajaran Penting bagi Pemerintahan

Kasus ini menyiratkan perlunya reformasi mendalam dalam tata kelola pemerintahan dan pengelolaan sumber daya publik. Pemerintah harus memastikan bahwa koordinasi antarinstansi berjalan dengan baik agar tidak terjadi konflik seperti ini di masa depan.

Selain itu, investigasi menyeluruh harus dilakukan untuk mengungkap bagaimana sertifikat di wilayah laut dapat diterbitkan, serta menindak tegas pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran.

Sebagai simbol kekayaan negara, laut adalah aset strategis yang harus dijaga untuk kepentingan bersama, bukan dikuasai oleh segelintir pihak. Kasus pagar laut ini menjadi pengingat bahwa kegagalan tata kelola tidak hanya merugikan masyarakat secara ekonomi dan sosial, tetapi juga merusak citra pemerintah sebagai pelindung kepentingan rakyat.

Dua matahari di kabinet mencerminkan tidak hanya konflik antarinstansi, tetapi juga kelemahan sistem dalam menyikapi isu-isu besar yang melibatkan kepentingan publik. Pagar laut menjadi simbol bagaimana tarik-menarik kepentingan politik dan bisnis dapat merusak prinsip keadilan sosial.

Reformasi tata kelola, transparansi, dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas agar kasus serupa tidak lagi terjadi di masa depan.

Example 120x600