Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Shalat: Antara Ketetapan Ilahi dan Konstruksi Manusia

246
×

Shalat: Antara Ketetapan Ilahi dan Konstruksi Manusia

Share this article

ppmindonesia.com. JakartaShalat, sebagai salah satu rukun Islam, memiliki kedudukan sentral dalam kehidupan seorang Muslim. Ia bukan hanya ritual ibadah, tetapi juga merupakan sarana komunikasi langsung antara hamba dan Tuhannya.

Namun, di balik kemurnian ajaran shalat yang bersumber dari Al-Qur’an, terdapat perdebatan mengenai bagaimana praktik ini berkembang—apakah sepenuhnya merupakan ketetapan ilahi, ataukah sebagian dipengaruhi oleh konstruksi manusia yang didasarkan pada tradisi dan interpretasi. Telaah ini mencoba mengeksplorasi dimensi tersebut dengan mempertimbangkan sumber-sumber utama Islam dan realitas sejarahnya.

Shalat sebagai Ketetapan Ilahi dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an memberikan penekanan yang jelas terhadap pentingnya shalat. Dalam berbagai ayat, shalat disebut sebagai kewajiban yang harus ditegakkan, seperti dalam Surah Al-Baqarah (2:43):

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Shalat dalam Al-Qur’an adalah ibadah yang memiliki elemen spiritual dan sosial, bertujuan mendekatkan manusia kepada Allah dan menjaga kesucian jiwa. Ia juga menjadi simbol penghambaan mutlak manusia kepada Sang Pencipta. Ketetapan ini jelas bersifat ilahi, diturunkan sebagai kewajiban universal bagi setiap Muslim tanpa memandang latar belakang.

Namun, yang menarik adalah Al-Qur’an tidak memberikan rincian lengkap tentang tata cara pelaksanaan shalat, seperti jumlah rakaat atau bacaan tertentu yang harus diucapkan. Hal ini membuka ruang interpretasi, yang kemudian diisi oleh hadis dan tradisi Islam.

Peran Tradisi dan Hadis dalam Konstruksi Praktik Shalat

Rincian tentang pelaksanaan shalat lebih banyak ditemukan dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menjadi dasar utama bagi umat Islam untuk meneladani cara shalat Nabi. Namun, tidak dapat disangkal bahwa penyusunan hadis-hadis ini melibatkan proses pengumpulan, validasi, dan interpretasi yang berlangsung berabad-abad setelah wafatnya Nabi.

Dalam proses ini, faktor budaya, politik, dan konteks sejarah turut memengaruhi bagaimana tata cara shalat dibakukan.

Misalnya, perbedaan jumlah rakaat dalam shalat tarawih antara delapan rakaat dan dua puluh rakaat menunjukkan adanya variasi tradisi yang berkembang di berbagai wilayah Muslim. Demikian pula, bacaan tertentu dalam shalat, seperti doa qunut, menjadi contoh bagaimana aspek tradisi dan mazhab dapat memperkaya, namun juga memperluas interpretasi shalat.

Konstruksi Shalat sebagai Produk Sejarah

Selain dari sisi ritual, waktu pelaksanaan shalat juga menjadi area yang menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Penetapan lima waktu shalat, yang kini menjadi standar, memiliki landasan dalam hadis, tetapi tidak sepenuhnya dijelaskan dalam Al-Qur’an secara eksplisit.

Al-Qur’an hanya menyebut waktu-waktu shalat secara umum, seperti dalam Surah Hud (11:114): “Dan dirikanlah shalat pada kedua ujung siang dan pada bagian permulaan malam.”

Ayat ini menunjukkan bahwa shalat memiliki kaitan erat dengan ritme alam, seperti pergerakan matahari. Namun, rincian lima waktu shalat—Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya—merupakan hasil penyusunan lebih lanjut dalam tradisi Islam. Penetapan ini menunjukkan bagaimana manusia berperan dalam membakukan praktik yang diilhami oleh wahyu.

Shalat: Antara Ritual dan Esensi

Perdebatan antara shalat sebagai ketetapan ilahi dan konstruksi manusia tidak seharusnya menimbulkan keraguan terhadap keutamaannya. Sebaliknya, perdebatan ini dapat membuka ruang refleksi yang lebih dalam terhadap esensi shalat.

Shalat bukan semata-mata ritual mekanis, tetapi sebuah proses spiritual yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Dalam Al-Qur’an, shalat digambarkan sebagai sarana untuk mengingat Allah (Surah Thaha 20:14) dan sebagai pelindung dari perbuatan keji dan mungkar (Surah Al-Ankabut 29:45). Ini menunjukkan bahwa esensi shalat jauh melampaui sekadar gerakan tubuh dan bacaan lisan; ia adalah medium transformasi spiritual.

Namun, dengan semakin fokusnya umat Islam pada aspek teknis dan formalitas shalat, ada risiko esensi spiritualnya terabaikan. Dalam beberapa kasus, ritual shalat dapat berubah menjadi kebiasaan tanpa makna, sekadar rutinitas harian yang kehilangan nilai spiritualnya.

Mengharmonisasi Ketetapan Ilahi dan Konstruksi Manusia

Untuk memahami shalat secara utuh, perlu ada kesadaran bahwa aspek ketetapan ilahi dan konstruksi manusia dapat saling melengkapi. Ketetapan ilahi memberikan fondasi yang kokoh, sementara konstruksi manusia, melalui tradisi dan konsensus, membantu menjaga kesinambungan praktik ini dalam berbagai konteks zaman dan budaya.

Namun, umat Islam harus tetap kritis terhadap tradisi yang mungkin melenceng dari nilai-nilai Al-Qur’an. Shalat yang sejati adalah yang mampu menghubungkan pelakunya dengan Allah dan membawa perubahan positif dalam kehidupan, bukan sekadar ritual yang dilakukan karena tekanan sosial atau tradisi yang tidak dipahami maknanya.

Shalat adalah perpaduan unik antara ketetapan ilahi dan konstruksi manusia. Sebagai kewajiban yang bersumber dari Al-Qur’an, shalat menjadi pilar utama dalam kehidupan seorang Muslim. Namun, cara shalat dilaksanakan, dirinci, dan dilestarikan melibatkan kontribusi manusia melalui tradisi, hadis, dan konsensus ulama.

Kesadaran akan dimensi ini tidak seharusnya melemahkan iman, tetapi justru memperkuat pemahaman terhadap shalat sebagai ibadah yang bersifat dinamis. Dengan memahami shalat sebagai kombinasi antara wahyu dan tradisi, umat Islam dapat lebih menghargai nilai spiritualnya, sekaligus tetap kritis terhadap elemen-elemen tambahan yang berpotensi mengaburkan esensi ibadah tersebut.

Pada akhirnya, shalat yang sempurna adalah shalat yang tidak hanya mengikuti tata cara yang benar, tetapi juga membawa pelakunya lebih dekat kepada Allah dan menjadikannya insan yang lebih baik.(husni fahro)

Example 120x600