ppmindonesia.com. Jakarta – Pada akhirnya, istri tetaplah orang lain. Ia bukan bagian dari darah kita, bukan kepingan jiwa kita, dan bukan potongan roh kita. Ia hadir sebagai pendamping, berbagi ruang dan waktu, membentuk kenangan bersama, tetapi ia tetaplah individu yang utuh, dengan dunia batinnya sendiri.
Memang benar, dari rahimnya lahir anak-anak kita. Ia menjadi ladang tempat benih kita tumbuh, melahirkan generasi penerus yang membawa sebagian dari darah dan sifat kita. Namun, keterikatan ini tidak menjadikannya bagian dari tubuh kita. Hubungan suami dan istri bukanlah hubungan darah seperti orang tua dan anak. Ia dibangun di atas kesepakatan, bukan kesatuan biologis.
Pernikahan pada dasarnya adalah sebuah perjanjian, sebuah ikatan yang diteguhkan dengan akad dan dicatat dalam buku nikah. Namun, apakah ikatan itu benar-benar menyatukan dua jiwa? Tidak selalu. Dalam banyak hal, suami dan istri tetaplah dua pribadi yang berdiri sendiri, dengan impian, kegelisahan, dan perjalanan spiritual yang berbeda. Kebersamaan hanyalah pilihan, bukan takdir yang mutlak.
Karena itu, dalam perkawinan, ada dua jalan yang bisa dipilih: kebersamaan abadi atau perpisahan yang final. Keduanya adalah opsi yang sah, bukan dosa, bukan kehinaan. Jika kebersamaan mendatangkan kedamaian, maka biarkan ia bertahan. Namun, jika perpisahan lebih membawa kebahagiaan, mengapa harus memaksakan keterikatan yang rapuh?
Pada akhirnya, hidup adalah milik masing-masing. Kebahagiaan bukan tentang mempertahankan sesuatu yang tidak lagi selaras dengan hati. Bukan tentang bertahan dalam keterpaksaan, tetapi tentang memilih jalan yang membawa ketenangan jiwa. Pernikahan bukanlah tujuan, melainkan salah satu kemungkinan. Yang terpenting adalah mencapai kebahagiaan yang sejati, terutama di masa tua, ketika kita ingin menutup hari-hari dengan damai dan tanpa penyesalan.
Hidupku adalah milikku, sebagaimana hidupmu adalah milikmu. Kita bisa berbagi, bisa saling menemani, tetapi pada akhirnya, setiap jiwa berjalan dengan langkahnya sendiri.(s.simon)