ppmindonesia.com, Jakarta – Carbon trading atau perdagangan karbon adalah mekanisme yang dirancang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida (CO₂), melalui sistem perdagangan hak emisi. Sistem ini memungkinkan perusahaan, negara, atau entitas lain untuk membeli atau menjual izin emisi, sehingga menciptakan insentif ekonomi bagi pengurangan emisi dan pengembangan teknologi ramah lingkungan.
Bagaimana Carbon Trading Bekerja?
1.Penetapan Kuota Emisi
Pemerintah atau organisasi internasional menetapkan batas maksimal emisi CO₂ yang diperbolehkan bagi setiap perusahaan, sektor industri, atau negara. Kuota ini didasarkan pada target pengurangan emisi yang telah disepakati dalam kebijakan lingkungan global, seperti Protokol Kyoto atau Perjanjian Paris.
2.Pengukuran dan Pemantauan Emisi
Setiap perusahaan atau negara wajib mengukur dan melaporkan jumlah emisi CO₂ yang mereka hasilkan. Pemantauan dilakukan oleh lembaga pengawas untuk memastikan kepatuhan terhadap kuota yang telah ditetapkan.
3.Perdagangan Hak Emisi
Jika suatu entitas menghasilkan emisi lebih rendah dari kuota yang diberikan, mereka akan memiliki surplus izin emisi yang dapat dijual kepada entitas lain.
Sebaliknya, jika suatu entitas menghasilkan emisi melebihi batas yang ditentukan, mereka harus membeli izin emisi tambahan dari pihak lain atau membayar denda.
Harga izin emisi bergantung pada mekanisme pasar, di mana penawaran dan permintaan menentukan nilai perdagangan karbon.
4.Penggunaan Hak Emisi dan Insentif Pengurangan Emisi
Dengan adanya perdagangan karbon, entitas yang dapat mengurangi emisinya secara efisien memiliki keuntungan ekonomi karena dapat menjual kelebihan hak emisi mereka.
Hal ini mendorong inovasi dalam teknologi rendah karbon, efisiensi energi, dan investasi dalam proyek berkelanjutan.
Tujuan dan Manfaat Carbon Trading
1.Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca
Carbon trading bertujuan untuk mengendalikan dan menekan emisi CO₂ yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.
2.Meningkatkan Efisiensi Energi dan Teknologi Ramah Lingkungan
Dengan adanya insentif ekonomi, perusahaan dan negara terdorong untuk mengadopsi teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan, sehingga mengurangi konsumsi energi berbasis fosil.
3.Mendorong Investasi dalam Proyek Hijau
Sistem perdagangan karbon meningkatkan investasi dalam proyek berkelanjutan seperti energi terbarukan, reforestasi, dan teknologi penangkapan serta penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS).
Contoh Implementasi Carbon Trading di Dunia
1.Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU Emissions Trading System – EU ETS)
Diperkenalkan pada tahun 2005, EU ETS adalah sistem perdagangan emisi terbesar di dunia yang mencakup lebih dari 11.000 fasilitas industri dan penerbangan di 30 negara Eropa. Sistem ini menggunakan mekanisme cap-and-trade, di mana batas emisi ditentukan, dan izin dapat diperjualbelikan di pasar.
2.Sistem Perdagangan Emisi California (California Cap-and-Trade Program)
Diluncurkan pada 2013, program ini merupakan bagian dari kebijakan lingkungan negara bagian California, AS. Sistem ini mencakup sektor energi, industri, dan transportasi, serta memiliki fitur unik seperti penggunaan dana hasil perdagangan karbon untuk proyek lingkungan dan keadilan sosial.
3.Sistem Perdagangan Emisi Nasional China (China National Emissions Trading System – China ETS)
Diluncurkan pada tahun 2021, China ETS adalah sistem perdagangan karbon terbesar berdasarkan volume emisi yang dicakup.
Saat ini, sistem ini berfokus pada sektor ketenagalistrikan dan diharapkan berkembang ke sektor industri lainnya dalam beberapa tahun mendatang.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan , Carbon trading merupakan salah satu strategi utama dalam upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim.
Dengan menciptakan pasar bagi izin emisi, sistem ini mendorong efisiensi energi, inovasi teknologi hijau, dan investasi dalam proyek berkelanjutan.
Keberhasilan sistem ini bergantung pada regulasi yang ketat, transparansi pemantauan emisi, serta komitmen pemerintah dan sektor industri dalam menekan emisi secara berkelanjutan. 9usup supriatna)