ppmindonesia.com-Jakarta– Kelangkaan gas elpiji 3 kg semakin dirasakan oleh warga Jakarta setelah pemerintah resmi melarang pengecer menjual gas bersubsidi sejak 1 Februari 2025. Kebijakan ini membuat banyak warga kesulitan mendapatkan gas untuk kebutuhan sehari-hari, sementara antrean panjang mulai terlihat di pangkalan resmi.
Aturan baru ini mewajibkan seluruh pengecer yang ingin tetap menjual elpiji 3 kg untuk mendaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi Pertamina melalui sistem Online Single Submission (OSS). Langkah ini bertujuan untuk memastikan distribusi gas lebih tepat sasaran dan menghindari praktik penyelewengan harga.
Namun, di lapangan, kebijakan ini justru menimbulkan efek domino yang merugikan masyarakat kecil.
Warga Kesulitan, Gas Sulit Ditemukan
Banyak warga mengeluhkan langkanya gas elpiji 3 kg di warung-warung dan agen yang biasa menjualnya. Ningrum (42), warga Karang Anyar, Jakarta Pusat, mengaku sudah berkeliling ke beberapa tempat untuk mencari gas, namun semuanya kosong.
“Empat tempat saya datangi, warung-warung langganan dan agen di pasar, tapi semuanya kosong. Biasanya gampang dicari, sekarang susah sekali,” ungkap Ningrum.
Kondisi ini diperparah oleh pengurangan kuota elpiji subsidi untuk Jakarta tahun 2025. Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertransgi) DKI Jakarta, Hari Nugroho, mengungkapkan bahwa kuota tahun ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya.
“Dikarenakan usulan kuota elpiji subsidi untuk Jakarta di 2025 lebih kecil dari realisasi penyaluran elpiji di 2024, ada pengurangan sekitar 1,6 persen,” jelas Hari.
Kuota elpiji subsidi untuk Jakarta pada 2025 ditetapkan sebesar 407.555 metrik ton (MT), lebih kecil dibandingkan dengan kuota yang digunakan pada tahun 2024, yaitu 414.134 MT.
Selain itu, distribusi gas juga mengalami kendala akibat libur nasional, yang menghambat pasokan ke berbagai wilayah.
Pengecer Terpukul, Ekonomi Rakyat Kecil Terdampak
Selain menyulitkan konsumen, larangan bagi pengecer untuk menjual gas elpiji 3 kg juga memukul usaha kecil yang selama ini menggantungkan hidup dari penjualan gas bersubsidi. Banyak pengecer kehilangan mata pencaharian karena tidak memiliki modal untuk menjadi pangkalan resmi Pertamina.
Dosen Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyebut kebijakan ini justru memperburuk kondisi ekonomi rakyat kecil.
“Pengecer selama ini adalah pengusaha akar rumput yang mengais pendapatan dari berjualan LPG 3 kg. Larangan ini mematikan usaha mereka, dan mustahil bagi mereka untuk langsung beralih menjadi pangkalan resmi karena modal yang dibutuhkan tidak kecil,” ujar Fahmy.
Dengan semakin sedikitnya titik distribusi akibat hilangnya pengecer, akses masyarakat terhadap gas elpiji 3 kg semakin sulit, menyebabkan harga di pasar gelap melonjak dan kelangkaan semakin parah.
Pemerintah Berupaya Atasi Krisis
Untuk meredam kelangkaan, pemerintah telah menyalurkan tambahan pasokan gas di beberapa tanggal tertentu. Pada 1 Januari 2025, sebanyak 233.040 tabung gas didistribusikan dengan menarik sebagian alokasi dari tanggal 3 Januari. Langkah serupa juga dilakukan pada 27 Januari, dengan menyalurkan 218.600 tabung gas dari alokasi tanggal 15 hingga 17 Januari.
Selain itu, pemerintah memperketat pemantauan stok gas dengan mewajibkan agen melaporkan stok setiap pagi dan sore melalui dokumentasi foto. Namun, langkah ini dinilai belum cukup untuk memastikan pasokan merata ke seluruh masyarakat.
Masyarakat Masih Dibayangi Ketidakpastian
Meski pemerintah telah berupaya mengatasi kelangkaan, banyak warga masih mengkhawatirkan kelangsungan pasokan gas di masa mendatang. Jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan mekanisme distribusi yang lebih baik dan pasokan yang cukup, bukan tidak mungkin krisis elpiji 3 kg akan terus berlanjut dan semakin menyulitkan masyarakat kecil.
Pemerintah diharapkan segera mencari solusi yang lebih efektif agar kebijakan ini tidak justru menambah beban rakyat kecil yang paling bergantung pada elpiji bersubsidi.(asyary)