ppmindonesia.com. Jakarta – Al-Qur’an dalam Surah Ali ‘Imran (3:83) menegaskan bahwa pada akhirnya tidak ada manusia yang mampu bertahan dengan keangkuhannya, karena seluruh manusia pada akhirnya akan tunduk dan menyerah (aslama) kepada Allah. Namun, cara dan waktu kepasrahan ini berbeda bagi setiap individu.
Sebagian manusia menyerah dengan penuh kesadaran dan ketaatan, menyandarkan diri kepada Allah tanpa paksaan, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Adz-Dzariyat (51:56) bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.
Namun, ada pula yang menolak hingga akhirnya menyerah secara terpaksa (karhan). Allah mempertanyakan dalam Surah An-Nisa (4:125): “Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah dan dia berbuat baik?” (aslama wajhahu lillah wahua muhsin).
Dalam Surah Ali ‘Imran (3:85), ditegaskan bahwa siapa pun yang mencari agama selain Islam, maka agama tersebut tidak akan diterima (falan yuqbalu) dan di akhirat ia akan merugi.
Ini memperjelas bahwa Islam adalah agama yang diridai oleh Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Ali ‘Imran (3:19). Namun, pertanyaan muncul: bagaimana dengan ajaran yang mengatasnamakan agama, tetapi tidak berasal dari Allah? Apakah ajaran tersebut dapat disebut sebagai Islam?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam Surah At-Taubah (9:33) dan Ar-Rum (30:30), yang menegaskan bahwa Allah mengutus rasul dengan petunjuk (bil huda) dan agama yang benar (dienul haq) agar Islam ditegakkan di atas seluruh ajaran lainnya. Dengan demikian, ajaran Islam adalah yang bersumber langsung dari Allah dan Rasul-Nya.
Namun, dalam praktik keagamaan, banyak umat Islam yang mengikuti ajaran yang tidak bersumber dari Allah, melainkan dari perkataan manusia, seperti hadits yang dinisbahkan kepada sahabat Rasulullah, misalnya “dari Abu Hurairah” (an Abi Hurairah). Hal ini menimbulkan pertanyaan: jika suatu ajaran tidak berasal langsung dari Allah, apakah ajaran tersebut masih bisa disebut Islam?
Realitas ini menunjukkan bahwa banyak Muslim yang menjalankan agama dengan pendekatan taklid buta, yaitu mengikuti ajaran tanpa memahami dalilnya. Padahal, seorang Muslim sejati menurut Surah Al-Jinn (72:14) adalah mereka yang memiliki kesadaran yang merdeka (taharrau rosyada), yaitu beragama dengan ilmu dan pemahaman, bukan sekadar ikut-ikutan.
Seseorang belum dapat disebut memiliki kesadaran yang merdeka (taharrau rosyada) jika ia masih menjalankan ibadah hanya karena mengikuti orang lain tanpa memahami ilmunya.
Jika ibadah hanya dilakukan secara ikut-ikutan atau taklid buta, maka hal ini bertentangan dengan kriteria seorang Muslim sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Jinn (72:14), serta bertentangan dengan Surah Al-Isra (17:36): “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”
Dengan demikian, Islam menuntut pemeluknya untuk beragama dengan dasar ilmu yang jelas, bukan sekadar mengikuti kebiasaan tanpa pemahaman.
Hanya dengan ilmu dan kesadaran yang merdeka, seseorang dapat benar-benar tunduk kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan mencapai keselamatan di dunia maupun di akhirat.(husni fahro)