Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Kesadaran Islam: Menyerah dengan Ilmu atau Terpaksa?

136
×

Kesadaran Islam: Menyerah dengan Ilmu atau Terpaksa?

Share this article

ppmindonesia.com. Jakarta Al-Qur’an dalam Surah Ali ‘Imran (3:83) menegaskan bahwa pada akhirnya tidak ada manusia yang mampu bertahan dengan keangkuhannya, karena seluruh manusia pada akhirnya akan tunduk dan menyerah (aslama) kepada Allah. Hanya saja, proses dan momentum kepasrahan ini berbeda bagi setiap individu.

Sebagian manusia menyerah dalam arti berserah diri dengan penuh kesadaran, yaitu mereka yang dengan ikhlas menyandarkan dirinya kepada Allah dan menaati-Nya bukan karena paksaan, tetapi sebagai bentuk penghambaan yang murni.

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Adz-Dzariyat (51:56), yang menyatakan bahwa manusia diciptakan tidak lain untuk beribadah kepada-Nya.

Sebaliknya, ada juga manusia yang belum menyadari keterbatasannya sebagai makhluk yang bergantung sepenuhnya pada ketetapan Allah. Mereka tetap menentang hukum dan aturan Allah, tetapi pada akhirnya mereka pun akan menyerah, meskipun dengan keterpaksaan (karhan).

Oleh karena itu, sangat logis jika dalam Surah An-Nisa (4:125), Allah mempertanyakan, “Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan wajahnya (perhatiannya) kepada Allah dan dia berbuat baik?” (aslama wajhahu lillah wahua muhsin).

Pertanyaan ini dijawab secara tegas dalam Surah Ali ‘Imran (3:85), bahwa siapa pun yang mencari agama selain agama Allah, maka agama tersebut tidak akan diterima (falan yuqbalu) dan di akhirat ia akan termasuk orang-orang yang merugi.

Kesadaran ini perlu terus ditumbuhkan dengan mengingat kembali pertanyaan dalam Surah Ali ‘Imran (3:83): “Apakah kamu mencari agama selain agama Allah?” Padahal, semua yang ada di langit dan bumi telah tunduk (aslama) kepada-Nya, baik dengan ketaatan maupun dengan keterpaksaan.

Lebih lanjut, dalam Surah Ali ‘Imran (3:19), Allah menyatakan bahwa “Sesungguhnya agama yang diridai di sisi Allah adalah Islam.” Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan yang mendalam: bagaimana jika ada ajaran yang diklaim sebagai agama, tetapi bukan berasal dari Allah? Dapatkah ajaran tersebut disebut sebagai ajaran Islam?

Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam Surah At-Taubah (9:33) dan Ar-Rum (30:30), yang menegaskan bahwa Allah mengutus rasul dengan petunjuk (bil huda) dan agama yang benar (dienul haq) agar agama Allah ditegakkan di atas seluruh ajaran lainnya. Islam adalah agama ciptaan Allah, dan manusia diciptakan untuk menjalankan agama ini.

Namun, bagaimana jika seseorang menyampaikan perkataan yang dinisbahkan kepada Rasulullah, misalnya dengan menyebut “dari Abu Hurairah” (an Abi Hurairah)? Orang tersebut mengakui bahwa ia mendapatkan informasi dari sahabat Rasul, bukan langsung dari Allah. Jika Surah Ali ‘Imran (3:19) dijadikan sebagai patokan hukum, maka dapat disimpulkan bahwa ajaran yang tidak bersumber langsung dari Allah tidak dapat disebut sebagai ajaran Islam.

Hal ini menegaskan realitas bahwa dalam praktik keagamaan, banyak umat Islam yang menggunakan ajaran yang tidak berasal dari Allah, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai ajaran Islam. Apalagi, seorang Muslim menurut Surah Al-Jinn (72:14) adalah orang yang memiliki kesadaran yang merdeka (taharrau rosyada), yaitu tidak sekadar mengikuti sesuatu tanpa memahami dasar dan dalilnya.

Dengan kata lain, seseorang belum dapat disebut memiliki kesadaran yang merdeka (taharrau rosyada) jika ia masih menjalankan ibadah hanya dengan mengikuti orang lain tanpa memahami ilmunya.

Jika ibadah hanya dilakukan secara ikut-ikutan atau dikenal sebagai taklid buta, maka hal ini tidak hanya bertentangan dengan kriteria seorang Muslim sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Jinn (72:14), tetapi juga bertentangan dengan perintah Allah dalam Surah Al-Isra (17:36): “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”

Dengan demikian, Islam menuntut pemeluknya untuk beribadah dengan dasar ilmu yang jelas, bukan sekadar mengikuti kebiasaan tanpa pemahaman.

Hanya dengan ilmu dan kesadaran yang merdeka, seseorang dapat benar-benar tunduk kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan mencapai keselamatan di dunia maupun di akhirat. (husni fahro)

Example 120x600