ppmindonesia.com. Jakarta – Polemik kepemilikan sertifikat tanah di wilayah perairan pesisir menjadi sorotan publik belakangan ini. Kasus pagar laut di Tangerang dan Sidoarjo memicu perdebatan mengenai legalitas dan etika pemberian hak milik atas lahan di wilayah yang seharusnya menjadi milik bersama.
Kontroversi Hukum dan Tradisi Masyarakat Pesisir
Pakar hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Maria Suwardjono, menjelaskan bahwa pemberian hak atas tanah di perairan pesisir bukanlah hal baru. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Bahkan, jauh sebelum undang-undang ini lahir, masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia telah memiliki tradisi memanfaatkan wilayah pesisir untuk tempat tinggal dan mencari nafkah.
“Banyak sekali suku-suku asli yang rumahnya terapung, termasuk Suku Laut dan Suku Barok di Kepulauan Riau, atau HGB untuk suku Kampung Laut yang hidup di perairan Batam.
Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya. Jadi, hak lahan di perairan pesisir itu memang bukan hal baru,” kata Maria.
Namun, pemberian sertifikat tanah di perairan pesisir juga menuai kritik. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid menegaskan komitmennya untuk mencabut sertifikat tanah di wilayah pesisir yang tidak sesuai dengan peraturan.
“Yang penting ending-nya semua sertifikat di luar garis pantai, kami batalkan,” kata Nusron Wahid
Dampak Lingkungan dan Potensi Konflik
Selain persoalan hukum, polemik sertifikat tanah di perairan pesisir juga menimbulkan kekhawatiran terkait dampak lingkungan.
Pembangunan pagar laut dan reklamasi pantai dikhawatirkan mengganggu ekosistem laut dan merusak mata pencaharian masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya alam laut.
“Pesisir Tangerang termasuk kawasan abrasi luar biasa dahsyat. Dari total panjang pantai 745 kilometer, sebesar 44 persen menghilang ditelan abrasi,” ujar Maria.
Di sisi lain, pemberian sertifikat tanah di perairan pesisir juga berpotensi memicu konflik antara masyarakat adat, pengembang, dan pemerintah.
Masyarakat adat yang telah lama memanfaatkan wilayah pesisir untuk tempat tinggal dan mencari nafkah merasa haknya terabaikan dengan adanya pemberian sertifikat tanah kepada pihak lain.
Perlunya Keseimbangan
Polemik sertifikat tanah di perairan pesisir menunjukkan kompleksitas persoalan agraria di Indonesia. Di satu sisi, negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam demi kepentingan nasional.
Namun, di sisi lain, hak-hak masyarakat adat dan kepentingan lingkungan juga harus menjadi pertimbangan utama.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mengatasi polemik sertifikat tanah di perairan pesisir. Kebijakan tersebut harus melibatkan semua pihak terkait, termasuk masyarakat adat, pemerintah, pengembang, dan ahli lingkungan.
Referensi: