ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam perjalanan sejarah Islam, ajaran yang bersumber dari wahyu Allah sering kali bercampur dengan tradisi, pemikiran, dan interpretasi yang tidak selalu sejalan dengan prinsip Islam yang murni. Al-Qur’an, sebagai pedoman utama umat Islam, menegaskan bahwa seluruh manusia pada akhirnya akan tunduk (aslama) kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Ali ‘Imran (3:83).
Namun, bentuk kepasrahan ini berbeda bagi setiap individu: ada yang menyerah dengan kesadaran penuh, sementara yang lain tunduk karena keterpaksaan.
Realitas ini mengundang pertanyaan kritis: sejauh mana ajaran dan praktik keagamaan yang berkembang saat ini benar-benar bersumber dari Allah?
Apakah umat Islam saat ini telah beribadah dengan dasar ilmu yang benar, ataukah mereka masih terjebak dalam taklid buta yang bertentangan dengan esensi Islam?
Islam sebagai Agama Kesadaran
Islam bukan sekadar sistem ritual, tetapi sebuah agama yang menuntut kesadaran penuh dari pemeluknya. Allah berfirman dalam Surah Adz-Dzariyat (51:56) bahwa manusia diciptakan tidak lain untuk beribadah kepada-Nya.
Namun, ibadah dalam Islam bukanlah aktivitas yang dilakukan secara mekanis atau sekadar mengikuti tradisi tanpa pemahaman. Islam menekankan pentingnya kesadaran intelektual dalam setiap aspek ibadah, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Isra (17:36):
> “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”
Dengan kata lain, Islam melarang umatnya untuk mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu yang jelas. Seorang Muslim yang sejati adalah mereka yang memiliki kesadaran yang merdeka (taharrau rosyada), sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Jinn (72:14), yaitu tidak sekadar mengikuti sesuatu tanpa memahami dasar dan dalilnya.
Tradisi dan Penyimpangan dalam Praktik Keagamaan
Seiring berjalannya waktu, banyak ajaran Islam yang bercampur dengan pemikiran manusia, baik dalam bentuk fatwa ulama, hadis yang diklaim berasal dari Nabi, maupun kebiasaan-kebiasaan turun-temurun yang tidak memiliki landasan dari wahyu.
Dalam Surah Ali ‘Imran (3:19), Allah menyatakan bahwa satu-satunya agama yang diridai di sisi-Nya adalah Islam. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan mendalam: bagaimana jika ada ajaran yang diklaim sebagai bagian dari Islam, tetapi sebenarnya tidak bersumber langsung dari Allah?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam Surah At-Taubah (9:33) dan Ar-Rum (30:30), yang menegaskan bahwa Allah mengutus Rasul dengan petunjuk (bil huda) dan agama yang benar (dienul haq) agar Islam ditegakkan di atas seluruh ajaran lainnya. Dengan demikian, ajaran Islam harus bersumber langsung dari Allah, bukan dari manusia.
Namun, dalam praktiknya, umat Islam sering kali menjalankan ibadah berdasarkan riwayat yang tidak berasal langsung dari wahyu, misalnya dengan merujuk pada perkataan yang dinisbahkan kepada Rasulullah melalui perawi tertentu.
Misalnya, ketika seseorang mengatakan, “Dari Abu Hurairah…” (an Abi Hurairah), maka informasi tersebut diakui sebagai sesuatu yang berasal dari sahabat Rasul, bukan langsung dari Allah.
Jika kita konsisten dengan prinsip yang ditegaskan dalam Surah Ali ‘Imran (3:19), maka setiap ajaran yang tidak bersumber dari wahyu Allah perlu dikaji ulang keabsahannya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak praktik keagamaan yang berkembang saat ini tidak benar-benar berasal dari Islam yang murni, melainkan merupakan hasil interpretasi manusia yang belum tentu sesuai dengan kehendak Allah.
Dampak Taklid Buta terhadap Umat Islam
Salah satu tantangan besar dalam praktik keagamaan kontemporer adalah fenomena taklid buta, yaitu kecenderungan untuk menerima ajaran agama tanpa mempertanyakan keabsahannya. Taklid buta ini bertentangan dengan semangat Islam yang mendorong penggunaan akal dan ilmu dalam memahami agama.
Taklid buta berdampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan beragama, antara lain:
- Menutup Ruang Ijtihad –
Ketika umat Islam hanya mengikuti pendapat ulama atau tokoh agama tanpa melakukan kajian kritis, maka inovasi pemikiran dalam Islam menjadi stagnan. Padahal, Islam mengajarkan bahwa manusia harus terus belajar dan mencari kebenaran berdasarkan dalil yang kuat.
2. Menjadikan Agama sebagai Dogma –
Islam adalah agama yang rasional dan berbasis ilmu, tetapi ketika ajaran agama diterima tanpa pemikiran kritis, agama berubah menjadi dogma yang tidak bisa dipertanyakan.
Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya ilmu dan argumentasi dalam beragama.
3. Membuka Ruang bagi Penyimpangan –
Ketika tradisi dan interpretasi manusia dijadikan sebagai sumber hukum yang sama kuatnya dengan wahyu Allah, maka berbagai penyimpangan dapat terjadi.
Sebagai contoh, banyak praktik ibadah yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an, tetapi tetap dilakukan karena dianggap sebagai “ajaran Islam” yang diwariskan turun-temurun.
Islam dan Tuntutan Ilmu dalam Beribadah
Sebagai agama yang menekankan ilmu dan kesadaran, Islam menuntut pemeluknya untuk memahami ajarannya dengan benar sebelum mengamalkannya. Dalam Surah An-Nisa (4:125), Allah berfirman:
“Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah dan dia berbuat baik?”
Ayat ini menegaskan bahwa kebaikan agama seseorang tidak hanya terletak pada ketundukannya kepada Allah, tetapi juga pada amal yang benar dan baik. Amal yang baik hanya bisa dilakukan jika seseorang memahami ilmu tentang agama secara mendalam.
Dengan demikian, setiap Muslim memiliki kewajiban untuk mengkaji ulang ajaran agama yang diterimanya, memastikan bahwa ajaran tersebut benar-benar bersumber dari Allah, dan tidak terjebak dalam praktik keagamaan yang hanya berdasarkan tradisi atau perkataan manusia.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, Islam adalah agama yang menuntut kesadaran penuh dari pemeluknya. Setiap Muslim dituntut untuk beribadah dengan ilmu, bukan sekadar mengikuti kebiasaan tanpa pemahaman. Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam, yaitu agama yang bersumber langsung dari wahyu-Nya, bukan dari interpretasi manusia.
Namun, dalam praktiknya, banyak umat Islam yang menjalankan ajaran agama tanpa mempertanyakan keabsahannya, hanya karena mengikuti tradisi atau perkataan yang dinisbahkan kepada Nabi tanpa memastikan sumbernya. Hal ini berisiko menyesatkan umat dari Islam yang sejati.
Maka, menggugat tradisi dalam praktik keagamaan bukan berarti menolak ajaran Islam, tetapi justru merupakan upaya untuk kembali kepada Islam yang murni, yang bersumber langsung dari wahyu Allah.
Dengan menjadikan ilmu sebagai dasar dalam beribadah, seorang Muslim dapat benar-benar tunduk kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan mencapai keselamatan di dunia maupun di akhirat. (husni fahro)