Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Keadilan Distribusi Sumber Daya dalam Islam: Telaah atas Konsep Fa-i dalam Al-Qur’an

288
×

Keadilan Distribusi Sumber Daya dalam Islam: Telaah atas Konsep Fa-i dalam Al-Qur’an

Share this article

ppmindonesia.com. Jakarta– Dalam Al-Qur’an surah Al-Hasyr (59:7), ditegaskan bahwa asas kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan merupakan bagian fundamental dalam risalah kenabian. Ayat tersebut menegaskan bahwa fa’i—harta yang diperoleh tanpa peperangan—harus disalurkan agar tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja (kailaa yakuna duulatan bainal aghniyaa minkum).

Hal ini menunjukkan prinsip keadilan sosial yang mengharuskan distribusi kekayaan secara merata, sehingga sumber daya tidak hanya terkonsentrasi pada kelompok tertentu.

Secara umum, istilah afaa-a (fa’i) sering diterjemahkan sebagai rampasan perang, sebagaimana istilah anfaal dalam Al-Qur’an (8:1) dan ghanimtum dalam Al-Qur’an (8:41).

Namun, ketiga istilah ini sebenarnya memiliki perbedaan makna dan tidak berasal dari akar kata yang sama. Oleh karena itu, penyamaan makna ketiga istilah tersebut patut dikaji ulang agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami konsep distribusi kekayaan dalam Islam.

Lebih dari sekadar perbedaan istilah dan terjemahan, ada pesan penting yang perlu direnungkan, yaitu larangan agar kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang.

Sejarah telah membuktikan bahwa sumber daya dan kesejahteraan cenderung terkonsentrasi pada kelompok kaya, sehingga menyebabkan ketimpangan sosial yang semakin lebar.

Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya harus bertujuan untuk pemerataan dan kesejahteraan bersama, bukan hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan fundamental: apakah Islam membenarkan perampasan? Bukankah merampas merupakan tindakan yang merugikan orang lain?

Apakah Islam mengajarkan pemaksaan dalam kepemilikan? Jika istilah fa’i, anfaal, dan ghanimah memiliki makna yang berbeda, mengapa semuanya diterjemahkan sebagai rampasan perang? Tidakkah ini menunjukkan perlunya kajian lebih dalam dan perbaikan pemahaman? Jika demikian, siapa yang seharusnya melakukan perbaikan ini dan bagaimana caranya?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak semata-mata untuk dijawab secara langsung, tetapi untuk membangun kesadaran religius yang lebih mendalam di tengah masyarakat.

Hal ini penting agar pemahaman tentang risalah kenabian tidak terbatas hanya pada aspek hukum, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial dan etika yang mendukung kesejahteraan bersama.

Dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum (30:28), ditegaskan prinsip solidaritas sosial yang sejalan dengan konsep pemerataan dalam surah Al-Hasyr (59:7). Ayat tersebut berbunyi: yakhafunahum kakhifatukum anfusakum, yang mengandung makna bahwa kepedulian terhadap sesama harus mencapai tingkat di mana seseorang merasa cemas atas keadaan orang lain sebagaimana ia mencemaskan dirinya sendiri.

Hal ini menegaskan bahwa pemerataan ekonomi dan keadilan sosial hanya dapat terwujud dengan menghilangkan keserakahan dan membangun kepedulian yang tulus antar sesama.

Oleh karena itu, jalan menuju pemerataan dan kebersamaan adalah dengan membatasi dominasi kaum kaya atas sumber daya dan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan sesuai dengan prinsip keadilan.

Persoalannya kini, apakah masyarakat telah mengamalkan nilai-nilai yang ditegaskan dalam Al-Qur’an (30:28) dan menjadikannya sebagai bagian dari budaya sosial mereka? Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada sejauh mana amanat kekhalifahan ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat.(husni fahro)

 

Example 120x600