ppmindonesia.com. Jakarta – Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki makna spiritual yang mendalam. Bukan sekadar perjalanan fisik ke Tanah Suci, haji adalah perjalanan batin yang menuntut kesadaran penuh akan hakikat penghambaan kepada Allah.
Dalam rangkaian ibadah haji, terdapat berbagai simbol dan ritual, salah satunya adalah penyembelihan hewan kurban. Namun, Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan bahwa esensi utama dari ibadah ini bukanlah pada daging atau darah hewan kurban, melainkan pada ketakwaan yang ada dalam hati setiap pelakunya.
Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj: 37:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kamu. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat ini memberikan pesan penting bahwa ibadah haji bukan hanya tentang ritual, tetapi juga tentang kesadaran dan keikhlasan dalam menjalankannya. Mari kita refleksikan lebih dalam bagaimana haji dan ketakwaan berkaitan erat dalam ajaran Islam.
Hakikat Ibadah Haji: Perjalanan Fisik dan Spiritual
Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka datang dalam keadaan yang beragam, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hajj: 27:
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Ayat ini menggambarkan kesungguhan dan perjuangan manusia dalam memenuhi panggilan Allah. Haji bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang menuntut keikhlasan, kesabaran, dan ketaatan.
Namun, apakah cukup hanya dengan melaksanakan ritual haji tanpa memperhatikan esensi ketakwaan? Inilah yang diingatkan dalam QS. Al-Hajj: 37. Ibadah haji tidak hanya tentang menjalankan rangkaian ritual, tetapi juga tentang bagaimana ibadah tersebut membentuk hati yang lebih tunduk dan bertakwa kepada Allah.
Kurban dalam Haji: Simbol Ketundukan, Bukan Persembahan
Salah satu ritual penting dalam ibadah haji adalah penyembelihan hewan kurban. Tradisi ini berakar dari kisah Nabi Ibrahim AS yang mendapat perintah untuk mengorbankan putranya, Ismail AS. Namun, Al-Qur’an menegaskan bahwa kurban bukanlah bentuk persembahan kepada Allah, melainkan simbol ketundukan dan ketaatan.
Dalam QS. Al-Hajj: 37, Allah menegaskan bahwa yang sampai kepada-Nya bukanlah daging atau darah hewan kurban, melainkan ketakwaan hamba-Nya.
Hal ini mengingatkan kita bahwa Allah tidak membutuhkan kurban tersebut, tetapi manusialah yang membutuhkan kesadaran akan penghambaan kepada-Nya.
Ketakwaan yang dimaksud dalam ayat ini mencakup:
- Keikhlasan dalam beribadah
- Menjalankan perintah Allah dengan penuh kesadaran
- Menghindari sikap pamer atau merasa lebih baik dari orang lain
- Menjadikan ibadah sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar rutinitas kosong
Dengan demikian, kurban dalam haji adalah ujian ketakwaan, bukan sekadar ritual yang dilakukan tanpa makna.
Ketakwaan sebagai Tujuan Utama Ibadah Haji
Allah telah menetapkan bahwa orang yang melaksanakan ibadah haji harus memiliki kesadaran penuh untuk menjaga sikap dan perilaku mereka. Dalam QS. Al-Baqarah: 197, Allah berfirman:
“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niat dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (berkata kotor), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam mengerjakan haji…”
Dari ayat ini, kita memahami bahwa ketakwaan tidak hanya diukur dari pelaksanaan ritual, tetapi juga dari sikap dan akhlak yang menyertainya.
Ketakwaan dalam haji bisa diwujudkan melalui:
- Menjaga lisan dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang
- Mengendalikan emosi dan menghindari perselisihan
- Membantu sesama jamaah haji dengan penuh kasih sayang
- Memaknai setiap ibadah sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah
Jika ibadah haji dijalankan dengan ketakwaan yang benar, maka hajinya tidak hanya sah secara hukum fikih, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam.
Pelajaran dari QS. Al-Hajj: 37 untuk Kehidupan Sehari-hari
Meskipun ayat ini berbicara tentang kurban dalam konteks haji, pesan yang terkandung di dalamnya berlaku secara luas dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa pelajaran yang bisa kita ambil antara lain:
- Ibadah harus dilakukan dengan ketulusan, bukan hanya sebagai formalitas
- Ketakwaan adalah inti dari setiap ibadah. Jangan sampai kita hanya menjalankan ritual tanpa memahami maknanya.
- Allah tidak membutuhkan ibadah kita, tetapi kita yang membutuhkan-Nya
- Allah tidak memerlukan daging atau darah kurban, tetapi kita membutuhkan kesadaran akan ketakwaan agar hidup kita lebih bermakna.
- Pentingnya menjaga akhlak dalam setiap ibadah
- Baik dalam haji maupun dalam kehidupan sehari-hari, ketakwaan harus tercermin dalam sikap dan perilaku kita terhadap sesama.
- Menghindari sikap pamer atau merasa lebih baik karena telah beribadah
- Banyak orang merasa lebih baik setelah berhaji, tetapi jika tidak diiringi dengan ketakwaan yang benar, maka ibadah tersebut bisa kehilangan maknanya.
Al-Hajj: 37 mengajarkan kepada kita bahwa ibadah bukanlah sekadar seremonial, tetapi sebuah proses pembentukan ketakwaan.
Haji sebagai salah satu ibadah tertinggi dalam Islam bukan hanya tentang perjalanan ke Makkah dan menjalankan ritual, tetapi lebih dari itu, haji adalah perjalanan spiritual yang menuntut ketundukan dan kesadaran penuh kepada Allah.
Ketakwaan adalah tujuan utama dari setiap ibadah, termasuk haji dan kurban. Oleh karena itu, setiap Muslim yang menunaikan ibadah haji harus menjadikan pengalaman tersebut sebagai momen untuk memperdalam ketakwaan, memperbaiki diri, dan meningkatkan kualitas hubungan dengan Allah serta sesama manusia.
Semoga kita semua diberikan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dengan hati yang penuh ketakwaan dan kembali sebagai hamba Allah yang lebih baik. Aamiin. (husni fahro)