Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Menggapai Solidaritas Qur’ani dan Mengatasi Perpecahan Umat

182
×

Menggapai Solidaritas Qur’ani dan Mengatasi Perpecahan Umat

Share this article

ppmindonesia.com. Jakarta – Pernyataan dalam Al-Qur’an 30:28 ditujukan pada semua tataran kebersamaan manusia dalam memenuhi kebutuhan, yang digambarkan pada tingkat standar solidaritas yang sangat tinggi, yakni “kamu cemaskan mereka sebagaimana kamu cemaskan dirimu sendiri” (yakhoofunahum kakhifatikum anfusakum). 

Standar solidaritas ini memiliki nilai yang sangat bermartabat dan berpotensi menjadi konsep perdamaian dunia, karena sumber sengketa dan permusuhan berhasil dipadamkan. Basis utamanya adalah bagaimana menghilangkan kecenderungan jahat dari setiap jiwa manusia dan mengisi hati nurani manusia dengan rahmat Allah.

Dengan demikian, akan muncul kebencian terhadap segala bentuk kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Pengorbanan atau biaya serta waktu yang dibutuhkan dalam membangun moralitas masyarakat agar mencapai posisi eksistensinya yang agung tidaklah sebanding dengan kerugian yang harus ditanggung manusia apabila kecenderungan jahat dibiarkan terus berlangsung.

Oleh karena itu, perlu usaha nyata dalam membangun standar solidaritas agar semua orang saling peduli satu sama lain dan memberikan ruang untuk kesejahteraan bersama. Program utama dalam mewujudkan hal ini adalah dengan memasukkan rahmat Allah dalam hati manusia, yaitu melalui pemberangusan nafsu jahat dengan kekuatan rahmat-Nya.

Diketahui bahwa seluruh manusia adalah ciptaan Allah dan akan kembali kepada-Nya, dan semua rasul menerima risalah kerasulan yang sama (lihat QS. 4:163-165). Perbedaan di antara mereka hanya terletak pada bahasa yang digunakan untuk menyampaikan risalah kepada kaumnya masing-masing (lihat QS. 14:4).

Semua risalah kerasulan berasal dari sumber yang sama, yakni Allah, yang tidak pernah mengubah ketetapan dalam ajaran agama yang diwahyukan (lihat QS. 33:62, 35:43, 48:23, serta 30:30). Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk saling bersengketa karena perbedaan interpretasi terhadap risalah kerasulan, apalagi sampai berujung pada permusuhan yang berkepanjangan.

Namun, dalam Al-Qur’an 30:29, disebutkan bahwa standar solidaritas sebagaimana yang disebutkan dalam 30:28 tidak diterima oleh orang-orang zalim. Mereka memilih mengikuti nafsu serakah mereka, seolah-olah tidak memahami bahwa orang yang mempertuhankan hawa nafsunya tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allah (lihat QS. 25:43, 43:25).

Sebagai solusi atas penolakan ini, dalam QS. 30:30 ditegaskan bahwa manusia harus menghadapkan perhatian pada agama yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia (ad-dien fithrotallah allatii fatharonnasa ‘alaiha). Namun, pada bagian akhir ayat ini, dinyatakan bahwa sebagian besar manusia tidak memahami fitrah agama tersebut.

Selanjutnya, ayat berikutnya memberikan petunjuk tentang bagaimana menegakkan agama fitrah Allah, yaitu dengan:

  1. Kembali kepada Allah (muniibiina ilaihi)**
  2. Bertakwa kepada-Nya (wattaquuhu)**
  3. Menegakkan shalat (wa aqiimus shalata)**
  4. Tidak menjadi orang musyrik (walaa takunuu minal musyrikiin)**

Itulah solusi yang harus ditempuh meskipun orang-orang zalim menolak standar solidaritas yang ditegaskan dalam Al-Qur’an 30:28.

Ayat selanjutnya menjelaskan kemusyrikan yang paling banyak dijumpai di tengah umat beragama, bahkan terus berlangsung dari abad ke abad, yaitu tafarruq (perpecahan) dalam agama.

Al-Qur’an 30:31-32 serta 6:159 menegaskan bahwa orang yang tafarruq dalam agama dan membentuk golongan-golongan disebut sebagai musyrik. Setiap kelompok merasa bangga dengan golongannya sendiri, sehingga perbedaan semakin mencolok dan menjadi unsur pembeda di antara mereka.

Nyata-nyata mereka tafarruq dapat dilihat dalam pertemuan-pertemuan antar golongan, yang umumnya diwakili oleh para petinggi dari masing-masing kelompoknya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memang telah bergolong-golongan. Jika mereka benar-benar tidak tafarruq, maka seharusnya tidak perlu ada perwakilan dari kubu-kubu yang berbeda dalam pertemuan tersebut.

Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar tidak tafarruq dalam agama, ataukah penyakit ini sudah terlalu lama berlangsung sehingga menjadi kronis dan tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang berbahaya?

Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan bagaimana dunia Islam telah lama menjadi “domba” yang siap diadu oleh pihak-pihak yang memusuhinya. Ada baiknya meninjau kembali kekhawatiran yang muncul terhadap dunia Islam apabila bersatu dan bebas dari tafarruq.

Dengan memahami peringatan Al-Qur’an tentang tafarruq dan standar solidaritas yang tinggi sebagaimana disebutkan dalam QS. 30:28, sudah saatnya umat Islam bersatu dan kembali kepada ajaran agama yang sesuai dengan fitrah manusia, tanpa terpecah-belah oleh sekat-sekat golongan dan kepentingan sempit.(husni fahro)

Example 120x600