ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam Islam, segala bentuk ibadah yang bersifat ritual harus memiliki dasar perintah yang jelas dari Allah dan penjelasan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hal ini karena ibadah yang berkaitan langsung dengan Allah (hablumminallah) harus sesuai dengan aturan-Nya.
Berbeda dengan aktivitas yang berhubungan dengan sesama manusia (hablumminannas), yang pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan peraturan yang berlaku dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Salah satu bentuk ibadah ritual yang telah diwariskan dari generasi ke generasi adalah shalat. Shalat bukan hanya sekadar kewajiban, tetapi juga memiliki fungsi mendidik dan membentuk karakter seorang Muslim. Sebagaimana firman Allah:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari isi Kitab, dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sungguh, mengingat Allah itu sangat besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-‘Ankabut: 45)
Ayat ini menegaskan bahwa membaca dan memahami Al-Qur’an adalah bagian dari perintah shalat, serta bahwa shalat memiliki efek nyata dalam mencegah perbuatan keji dan mungkar. Ini berarti, shalat tidak hanya sebatas gerakan fisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam.
Memahami Perintah Shalat dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, perintah shalat selalu dikaitkan dengan kata kerja yang berasal dari akar kata “Qaama” yang berarti berdiri, menegakkan, atau meluruskan. Kata ini memiliki implikasi mendalam dalam pelaksanaan shalat, yaitu:
- Dirikanlah shalat – menunjukkan bahwa shalat harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan disiplin.
- Luruskan shalat – mengembalikan shalat kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, bukan berdasarkan kebiasaan atau tradisi yang berkembang.
- Tegakkan shalat – menjadikan shalat sebagai pilar utama dalam kehidupan pribadi dan sosial, bukan hanya sebagai rutinitas ibadah.
Dari sini, jelas bahwa shalat bukan sekadar ritual, tetapi juga harus memberikan dampak positif dalam kehidupan sehari-hari.
Shalat Tarawih dalam Perspektif Al-Qur’an
Pada bulan Ramadhan, umat Islam terbiasa melaksanakan shalat setelah shalat Isya yang dikenal dengan sebutan tarawih. Dalam bahasa Arab, tarawih berarti “duduk-duduk istirahat” atau “bersantai”, yang kemudian berkembang menjadi istilah untuk shalat malam yang dilakukan secara berjamaah di bulan Ramadhan.
Namun, dalam literatur Islam, shalat tarawih menjadi perdebatan di antara berbagai kelompok.
- Golongan Sunni meyakini bahwa shalat tarawih adalah ibadah sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan di bulan Ramadhan.
- Golongan Syi’ah berpendapat bahwa shalat tarawih adalah bid’ah karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah secara berjamaah sebagai ritual tetap.
Perselisihan ini menunjukkan bahwa setiap bentuk ibadah yang tidak dikembalikan kepada Al-Qur’an berpotensi menjadi sumber perdebatan dan perbedaan di kalangan umat Islam.
Shalat Malam yang Ditetapkan dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, yang disebutkan adalah Qiyamul Lail atau shalat malam. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Rabb engkau mengetahui bahwa engkau berdiri shalat kurang dari 2/3 malam, 1/2, dan 1/3 serta segolongan dari orang-orang yang bersama engkau. Dan Allah mengukur malam dan siang. Dia mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat memperkirakannya, maka Dia menerima taubatmu. Maka bacalah apa yang mudah dipahami dari Al Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada dari kamu yang sakit dan yang lainnya hendak berpergian di muka bumi mencari karunia Allah. Dan yang lainnya hendak berperang di jalan Allah, maka bacalah yang mudah dipahami daripadanya. Dan dirikanlah shalat, berikanlah zakat, dan pinjamkanlah Allah dengan pinjaman yang baik. Dan kebaikan yang kamu perbuat untuk dirimu, kamu akan mendapatinya di sisi Allah. Itulah yang lebih baik dan balasan yang paling besar. Dan minta ampunlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Muzzammil: 20)
Ayat ini menegaskan bahwa shalat malam adalah ibadah tambahan (nafilah) yang bisa dilakukan dengan berbagai durasi, sesuai dengan kemampuan seseorang. Yang ditekankan dalam ayat ini bukan jumlah rakaat, tetapi pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah dipahami dan dihayati.
Pembagian Waktu Qiyamul Lail
Berdasarkan perhitungan waktu malam dalam Al-Qur’an, shalat malam dapat dilakukan dalam rentang waktu berikut:
- 2/3 malam = 8 jam setelah maghrib → sekitar pukul 02.00 pagi
- 1/2 malam = 6 jam setelah maghrib → sekitar pukul 00.00 tengah malam
- 1/3 malam = 4 jam setelah maghrib → sekitar pukul 22.00 malam
Dengan demikian, waktu ideal untuk Qiyamul Lail atau shalat malam adalah antara pukul 22.00 hingga 02.00 pagi.
Fleksibilitas dalam Jumlah Rakaat
Dalam shalat malam, Al-Qur’an tidak memberikan batasan jumlah rakaat. Seorang Muslim dapat melakukan 2 rakaat, 4 rakaat, 8 rakaat, atau lebih, sesuai dengan kemampuannya. Yang terpenting bukanlah jumlah rakaat, tetapi bagaimana shalat tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran, kekhusyukan, serta pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca.
Sholat Malam yang sesuai Al quran
Shalat adalah ibadah yang memiliki aturan jelas dalam Al-Qur’an dan harus dijalankan sesuai dengan tuntunan-Nya. Dalam konteks shalat malam, yang diperintahkan dalam Al-Qur’an adalah Qiyamul Lail, bukan shalat tarawih dalam bentuk yang biasa dilakukan saat ini.
Jika seseorang ingin melaksanakan shalat malam sebagai ibadah tambahan, maka ia harus mengikuti aturan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu:
- Waktunya berada dalam rentang 22.00 hingga 02.00 pagi.
- Bacaan yang digunakan adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah dipahami.
- Tidak ada batasan jumlah rakaat, tergantung pada kemampuan masing-masing individu.
Dengan pemahaman yang benar tentang ibadah shalat malam, seorang Muslim dapat melaksanakannya sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, tanpa terjebak dalam perbedaan pendapat yang sering kali muncul akibat tidak dikembalikannya suatu ibadah kepada sumber utama Islam, yaitu Al-Qur’an. (abi fahd )