Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Menjebol Lingkaran Setan Kemiskinan: Paradigma Baru dalam Memahami Ekonomi dan Religiusitas”

273
×

Menjebol Lingkaran Setan Kemiskinan: Paradigma Baru dalam Memahami Ekonomi dan Religiusitas”

Share this article
Ilustrasi"Lingkaran Setan" kemiskinan (ppm.doc)

Oleh : Lalu Agus Sarjana ; Aktivis & Tokoh  Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nusa Tenggara Barat (NTB) 

ppmindonesia.com. Mataram– Pada Pelatihan Kader Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan oleh Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) NTB pada 27-28 Februari 2025 di Pesantren Harmony Thohir, Lombok Timur, ditemukan fakta menarik dari sesi simulasi yang dilakukan oleh para peserta.

Berdasarkan kuisioner yang diberikan, hanya 14% peserta yang menilai bahwa masalah ekonomi memiliki keseimbangan dengan nilai religiusitas dan sosio-kultural dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara nilai-nilai agama dan kondisi sosial-ekonomi di lapangan.

Dalam konteks global, Denny JA melakukan riset mengenai korelasi antara religiusitas dan mental korupsi suatu negara. Dengan sampel dari 111 negara dan menggunakan metode Karl Pearson, diperoleh korelasi sebesar -0,064. Artinya, semakin kuat sistem religius dalam suatu masyarakat, justru berbanding negatif dengan perilaku sosio-kulturalnya.

Ini menandakan adanya ketimpangan—banyak individu yang secara rutin menjalankan ibadah tetapi tetap terjebak dalam praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai moral agama, seperti korupsi dan ketidakadilan ekonomi.

Lalu, bagaimana korelasi antara moral agama dengan perilaku kemiskinan?

Meskipun belum dilakukan polling yang lebih luas di masyarakat, hasil jawaban peserta pelatihan kemarin N = 24  (N = nilai) memberikan gambaran awal bahwa semakin kuat moral keagamaan seseorang, terdapat kecenderungan melemahnya orientasi terhadap aspek ekonomi.

Hal ini selaras dengan video yang diunggah oleh Mas  Burhan Said, tokoh PPM NTB  yang menjelaskan tentang adanya energi negatif yang muncul dari lisan, tangan, mata, dan hati. Akibatnya, banyak orang merasa cukup dengan kondisi kemiskinan kultural yang mereka alami, tanpa dorongan kuat untuk melakukan perubahan struktural atau ekonomi.

Sebaliknya, sumber daya alam (SDA) yang melimpah justru dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki pola pikir tamak, rakus, dan individualistik.

Di sisi lain, para alim ulama kerap memberikan nasihat mengenai harta benda dan perniagaan, namun dalam praktiknya, sumber daya alam yang melimpah justru sering dieksploitasi oleh segelintir individu yang tamak, rakus, dan memiliki kecenderungan individualistik.

Hal ini menciptakan ketimpangan yang semakin tajam antara kekayaan alam yang besar dengan realitas ekonomi masyarakat yang masih tertinggal.

Indonesia, sebagai negara yang kaya akan sumber daya, justru memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Jika dibandingkan, kekayaan 1% orang kaya di Amerika setara dengan 26 kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.

Ironisnya, mayoritas dari masyarakat yang masih berada dalam kemiskinan kultural tersebut adalah umat Islam. Hal ini membuktikan adanya paradigma yang keliru dalam memahami makna harta benda dan perniagaan.

Dapatkah kita keluar dari “Lingkaran Setan” kemiskinan itu???

Terdapat mindset, pola pikir, dan paradigma yang keliru dalam memahami makna harta benda dan perniagaan. Banyak orang masih terjebak dalam tafsir yang sempit dan bias, sehingga tidak mampu melihat keterkaitan antara nilai spiritual dan aspek ekonomi secara lebih holistik.

Bahkan, pendekatan teologi dan eskatologi yang berbasis epistemologi bayani (teks), burhani (rasionalitas), dan irfani (intuisi) sering kali masih bersifat abstrak dan kurang aplikatif dalam kehidupan nyata.

Pemahaman ini cenderung tidak bersifat final atau pasti, tidak seperti kebenaran matematis sederhana semisal 2 × 2 = 4. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam dogma yang tidak memberi solusi konkret terhadap realitas ekonomi dan sosial yang dihadapi.

Untuk keluar dari “lingkaran setan” kemiskinan ini, diperlukan perubahan mindset, pola pikir, dan paradigma yang lebih progresif. Kesalahan utama terletak pada cara pandang terhadap ekonomi yang dipengaruhi oleh teologi dan eskatologi dengan pendekatan epistemologi bayani, burhani, dan irfani yang belum realistis dalam menghadapi tantangan ekonomi global.

Selama konsep-konsep ini masih dipahami secara kaku dan tidak adaptif, kita akan terus terjebak dalam pemahaman yang tidak memberikan solusi konkret bagi kemajuan ekonomi umat.

Oleh karena itu, kita perlu memaknai arti maghfirah secara lebih luas, bukan sekadar pengampunan dosa, tetapi juga sebagai momentum untuk menjebol paradigma lama dan membangun paradigma baru yang lebih membebaskan.

Ini adalah saatnya bagi kita untuk meretas lingkaran setan kemiskinan dengan melakukan revolusi diri dari dalam, mengubah pola pikir yang pasif menjadi lebih aktif dan produktif, serta membangun sistem ekonomi yang berbasis keadilan dan kesejahteraan bagi semua.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلٰى تِجَا رَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِّنْ عَذَا بٍ اَلِيْمٍ

yaaa ayyuhallaziina aamanuu hal adullukum ‘alaa tijaaroting tungjiikum min ‘azaabin aliim

“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?” (QS. As-Saff 61: Ayat 10)

Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

تُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَتُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِاَ مْوَا لِكُمْ وَاَ نْفُسِكُمْ ۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّـكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

tu-minuuna billaahi wa rosuulihii wa tujaahiduuna fii sabiilillaahi bi-amwaalikum wa angfusikum, zaalikum khoirul lakum ing kungtum ta’lamuun

“(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui,”(QS. As-Saff 61: Ayat 11)

Mari kita cermati dan renungkan bersama, bagaimana kita dapat berkontribusi dalam perubahan ini demi masa depan yang lebih baik bagi umat dan bangsa.(lalu agus sarjana)

Example 120x600