ppmindonesia.com.Jakarta -Pembangunan ekonomi desa telah menjadi fokus utama pemerintah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan yang merata. Salah satu instrumen yang diharapkan mampu mendorong kemandirian ekonomi desa adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang dirancang sebagai lembaga ekonomi berbasis komunitas untuk mengelola potensi desa secara profesional.
Untuk mempercepat penguatan dan pengembangan BUMDes, pemerintah membentuk PT Mitra BUMDes Nusantara (MBN) sebagai holding yang bertugas mengoordinasikan, membina, dan menghubungkan BUMDes dengan ekosistem bisnis yang lebih luas.
Namun, meskipun memiliki visi yang ambisius, realitas di lapangan menunjukkan bahwa MBN gagal menjalankan perannya secara optimal. Berbagai persoalan muncul, mulai dari kurangnya pendampingan yang efektif, lemahnya sinergi dengan industri besar, hingga regulasi yang terlalu birokratis.
Akibatnya, banyak BUMDes yang masih kesulitan mengakses permodalan, menghadapi kendala dalam pengelolaan usaha, dan tidak mendapatkan manfaat maksimal dari skema yang telah dirancang.
Di tengah stagnasi peran MBN, pemerintah justru menggulirkan kebijakan baru dengan mendorong pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Koperasi ini diklaim sebagai solusi konkret untuk membantu masyarakat desa dalam menghadapi persoalan ekonomi, terutama dalam aspek simpan pinjam, distribusi sembako, serta mengurangi ketergantungan terhadap rentenir dan pinjaman online.
Namun, kehadiran koperasi desa ini memunculkan pertanyaan besar mengenai arah kebijakan ekonomi desa ke depan. Apakah KDMP dirancang sebagai pelengkap bagi BUMDes, atau justru sebagai pengganti yang secara perlahan akan menghapus peran BUMDes? Jika sumber daya dan kebijakan pemerintah lebih berpihak pada koperasi desa, maka bukan tidak mungkin eksistensi BUMDes akan semakin melemah.
Selain itu, munculnya kebijakan koperasi desa juga mengindikasikan bahwa pemerintah secara tidak langsung mengakui kegagalan MBN dalam mengelola BUMDes secara efektif. Jika MBN mampu berfungsi dengan baik, mengapa pemerintah merasa perlu menciptakan skema baru melalui koperasi desa?
Hal ini menimbulkan dilema, di mana alih-alih memperbaiki dan memperkuat MBN, pemerintah justru memilih untuk mengalihkan fokus ke model ekonomi desa yang baru.
Implikasi Kebijakan dan Masa Depan Ekonomi Desa
Perubahan kebijakan ini berdampak luas terhadap masa depan ekonomi desa. Bagi kepala desa dan pengelola BUMDes, ketidakpastian ini menimbulkan kebingungan terkait posisi BUMDes dalam ekosistem ekonomi yang baru. Ada beberapa skenario yang mungkin terjadi:
- BUMDes Dilebur ke dalam Koperasi Desa
Jika koperasi desa mendapatkan prioritas penuh, ada kemungkinan besar bahwa unit usaha BUMDes akan diintegrasikan ke dalam koperasi. Hal ini dapat menghilangkan status BUMDes sebagai badan usaha milik desa yang independen.
- BUMDes dan Koperasi Desa Berkolaborasi
Dalam skenario ini, BUMDes tetap ada, tetapi harus beradaptasi dengan sistem koperasi sebagai mitra usaha. Namun, tanpa regulasi yang jelas, ada risiko bahwa peran BUMDes menjadi sekadar pelengkap dari koperasi.
- BUMDes Ditinggalkan dan Berjalan Sendiri
Jika kebijakan pemerintah lebih berpihak pada koperasi desa, maka BUMDes harus mencari cara untuk bertahan sendiri tanpa dukungan yang memadai. Ini tentu menjadi tantangan besar bagi desa-desa yang baru membangun BUMDes mereka.
Dari ketiga skenario tersebut, skenario pertama menjadi yang paling mengkhawatirkan, karena dapat menghilangkan identitas BUMDes sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi desa yang telah dibangun bertahun-tahun.
Apa yang Harus Dilakukan?
Agar kebijakan ekonomi desa tidak justru merugikan masyarakat, pemerintah perlu memberikan kejelasan arah kebijakan dan memastikan bahwa koperasi desa tidak menggantikan atau melemahkan peran BUMDes. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Memperbaiki dan Memperkuat PT Mitra BUMDes Nusantara agar lebih efektif dalam mendampingi BUMDes dan membangun sinergi dengan BUMN serta sektor industri.
- Menjadikan koperasi desa sebagai bagian dari ekosistem BUMDes, bukan sebagai entitas yang berdiri sendiri dan bersaing dengan BUMDes.
- Memastikan alokasi dana desa tetap adil, sehingga tidak seluruhnya dialihkan ke koperasi desa tanpa mempertimbangkan keberlanjutan BUMDes.
- Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas kebijakan ini agar tidak terjadi tumpang tindih yang justru menghambat perkembangan ekonomi desa.
Koperasi Desa atau BUMDes Memberdayakan Ekonomi Desa?
Kehadiran Koperasi Desa Merah Putih di satu sisi dapat menjadi peluang baru bagi ekonomi desa, tetapi di sisi lain juga berpotensi mengancam eksistensi BUMDes jika tidak dikelola dengan kebijakan yang tepat. Pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang agar kebijakan ini tidak justru menjadi langkah mundur bagi pembangunan ekonomi desa.
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: Apakah kebijakan koperasi desa benar-benar dirancang untuk memberdayakan masyarakat, atau justru merupakan bentuk pengalihan dari kegagalan sistem yang sudah ada? Keputusan yang diambil pemerintah dalam beberapa tahun ke depan akan sangat menentukan arah masa depan ekonomi desa di Indonesia.(emha)