ppmindonesia.com. Jakarta – Perintah pertama dalam turunnya wahyu Al-Qur’an pada 17 Ramadhan tahun 610 Masehi adalah perintah untuk membaca.
Namun, membaca dalam konteks wahyu ini bukan sekadar aktivitas membaca secara umum, melainkan sebuah instruksi yang lebih mendalam: membaca segala ciptaan Tuhan dengan metode bismillah—yakni membaca dengan kesadaran bahwa segala sesuatu bersumber dari dan berada dalam kehendak Allah.
Dalam realitas dunia saat ini, di mana sistem kehidupan dan pengelolaannya hanya merujuk kepada Al-Qur’an dalam bagian yang terbatas, membaca ciptaan Tuhan dengan perspektif ilahi tentu menjadi tantangan tersendiri.
Banyak hal yang terasa ganjil atau bahkan bertentangan dengan realitas yang telah mapan dalam pemikiran manusia. Bahkan dalam memahami Nuzulul Qur’an, makna yang sesungguhnya telah mengalami pergeseran dalam pemahaman umum.
Lailatul Qadr: Malam Kemuliaan atau Ketetapan?
Surat Al-Qadr mengisahkan tentang peristiwa turunnya Al-Qur’an pada malam yang telah ditentukan, yang dalam bahasa Arab disebut Lailatul Qadr.
Secara linguistik, menambahkan kata “malam” sebelum Lailatul Qadr (menjadi “Malam Lailatul Qadr”) tidak hanya bertentangan dengan kaidah bahasa Arab, tetapi juga mencerminkan ketidaktepatan dalam memahami makna istilah tersebut.
Jika makna Nuzulul Qur’an saja telah bergeser, maka bagaimana dengan pesan besar yang terkandung di dalamnya? Hal ini menjadi panggilan bagi kita untuk merenungkan firman Allah:
“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an ataukah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
“Sesungguhnya orang-orang yang berbalik setelah petunjuk menjadi jelas bagi mereka, setan telah menyandera mereka…” (QS. Muhammad: 25)
“Sesungguhnya Dia yang telah mewajibkan Al-Qur’an kepadamu, sungguh akan mengembalikanmu ke tempat kembali yang sejati.” (QS. Al-Qashash: 85)
Jalan Kembali kepada Susunan Dasar Penciptaan (Idul Fithri)
Ayat di atas menegaskan bahwa Allah telah menunjukkan jalan kembali kepada tempat kembali yang sesungguhnya dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman yang wajib ditaati.
Tempat kembali yang sejati itu adalah kembali kepada susunan dasar penciptaan manusia, yaitu fithrah. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Ad-Dien) sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia di atasnya…” (QS. Ar-Rum: 30)
Idul Fithri sejatinya adalah simbol perjalanan kembali kepada fitrah penciptaan manusia—yakni kembali kepada Ad-Dien yang menjadi dasar keberadaan manusia itu sendiri.
Jika Al-Qur’an adalah jalan yang mengantarkan manusia menuju tempat kembali yang sesungguhnya, maka ritual Lebaran yang selama ini dijalankan seharusnya memiliki hubungan signifikan dengan transformasi kehidupan menuju fitrah. Namun, dalam praktiknya, perayaan tersebut lebih banyak bersifat seremonial tanpa benar-benar membawa manusia kepada kesadaran fithrah yang hakiki.
Peluang untuk benar-benar kembali kepada susunan dasar penciptaan (Idul Fithri) hanya akan terbuka jika Al-Qur’an benar-benar dibumikan dalam kehidupan secara kaffah (menyeluruh). Hal ini tidak akan mudah, kecuali bagi mereka yang telah menemukan keindahan keimanan dan membenci kekafiran serta kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikannya indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Hujurat: 7)
Agar bisa membenci kekafiran dan kemaksiatan, seseorang harus memiliki kesadaran yang merdeka. Dan hanya mereka yang telah merdeka secara kesadaran yang bisa disebut sebagai Muslim sejati. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang Muslim dan ada pula yang menyimpang dari kebenaran…” (QS. Al-Jin: 14)
Membumikan Al-Qur’an: Makna Hakiki Nuzulul Qur’an
Membumikan Al-Qur’an dalam kehidupan bukan sekadar membaca teksnya, tetapi menjadikannya sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan. Ini berarti menempuh jalan kembali kepada susunan dasar penciptaan, yakni menuju Idul Fithri yang sejati.
Dengan demikian, makna esensial dari Nuzulul Qur’an adalah bahwa Al-Qur’an harus senantiasa “diturunkan” ke dalam realitas kehidupan setiap saat, bukan sekadar diperingati dalam satu malam atau bulan tertentu.
Bukan suatu kebetulan jika Syahru Ramadhan bermakna sebagai “bulan untuk membakar segala kebatilan”, dan Syahru Syawal bermakna sebagai “bulan kebangkitan”.
Ini mengandung pelajaran mendalam bahwa setelah melalui bulan Ramadhan dengan proses pembersihan diri dari segala bentuk kebatilan, seharusnya lahir momentum kebangkitan yang lebih besar di bulan Syawal.
Semoga setelah Ramadhan berlalu, kita benar-benar berhasil membakar segala kebatilan dalam diri dan masyarakat, sehingga Syawal menjadi titik awal kebangkitan menuju kesadaran fithrah yang sejati—kesadaran hidup dalam naungan Al-Qur’an secara kaffah. Wallahu a’lam. (husni fahro)