Scroll untuk baca artikel
HikmahNasional

Tata Buku dalam Perspektif Al-Qur’an: Urgensi Mencatat Setiap Transaksi

76
×

Tata Buku dalam Perspektif Al-Qur’an: Urgensi Mencatat Setiap Transaksi

Share this article

Oleh : Lalu Agus Sarjana; Aktifis dan Tokoh Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) NTB

ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam kehidupan sehari-hari, berbagai aktivitas seperti transaksi jual beli, utang piutang, serta proses bisnis dan administrasi lainnya memerlukan pencatatan yang rapi dan sistematis.

Rekam jejak ini bukan hanya berfungsi sebagai alat evaluasi, tetapi juga menjadi dasar keadilan dalam hubungan sosial dan ekonomi.

Di era digital saat ini, hampir semua sistem memiliki fitur pencatatan otomatis yang menyimpan data transaksi. Teknologi seperti blockchain, sistem akuntansi digital, dan database terkomputerisasi memungkinkan segala bentuk transaksi terdokumentasi dengan baik.

Namun, jauh sebelum perkembangan teknologi ini, Al-Qur’an telah memberikan prinsip dasar dalam pengelolaan transaksi melalui pencatatan (tata buku) yang adil dan akurat.

Perintah Mencatat Transaksi dalam Al-Qur’an

Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, yang merupakan ayat terpanjang dalam Al-Qur’an, sebagai berikut:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَا كْتُبُوْهُ ۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَا تِبٌ بِۢا لْعَدْلِ ۖ وَلَا يَأْبَ كَا تِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْ ۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَـقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْــئًا ۗ فَاِ نْ كَا نَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَـقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِا لْعَدْلِ ۗ وَا سْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَا لِكُمْ ۚ فَاِ نْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّا مْرَاَ تٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَآءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰٮهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰٮهُمَا الْاُ خْرٰى ۗ وَ لَا يَأْبَ الشُّهَدَآءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ وَلَا تَسْــئَمُوْۤا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰۤى اَجَلِهٖ ۗ ذٰ لِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَ قْوَمُ لِلشَّهَا دَةِ وَاَ دْنٰۤى اَ لَّا تَرْتَا بُوْۤا اِلَّاۤ اَنْ تَكُوْنَ تِجَا رَةً حَا ضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَا حٌ اَ لَّا تَكْتُبُوْهَا ۗ وَاَ شْهِدُوْۤا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَآ رَّ كَا تِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ۗ وَاِ نْ تَفْعَلُوْا فَاِ نَّهٗ فُسُوْقٌ بِۢكُمْ ۗ وَ اتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَا للّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

 “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual-beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah 2:282)

Ayat ini mengandung banyak hikmah terkait pencatatan transaksi dan hukum ekonomi Islam, yang mencerminkan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam bermuamalah.

Makna dan Hikmah Pencatatan dalam Transaksi

1. Mencegah Perselisihan dan Kecurangan

Dalam transaksi, terutama yang bersifat utang-piutang atau kerja sama bisnis, sering kali muncul perbedaan persepsi antara pihak yang terlibat.

Dengan pencatatan yang jelas dan rinci, potensi sengketa dapat diminimalkan, karena ada bukti tertulis yang dapat dijadikan acuan.

  1. Menjaga Keamanan dan Hak Kedua Belah Pihak

Al-Qur’an memerintahkan agar utang-piutang yang memiliki tenggat waktu tertentu harus dicatat. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan perlindungan hak individu.

Dengan adanya pencatatan, baik pemberi utang maupun penerima utang memiliki kepastian hukum atas hak dan kewajibannya.

  1. Pentingnya Keadilan dalam Pencatatan

Ayat ini juga menegaskan bahwa pencatatan transaksi harus dilakukan oleh seseorang yang adil dan jujur.

Seorang penulis atau juru tulis yang ditugaskan mencatat transaksi tidak boleh berpihak, dan harus menuliskan segala sesuatu dengan benar, sesuai dengan apa yang disepakati oleh kedua belah pihak.

  1. Kewajiban Persaksian

Selain pencatatan, ayat ini juga menetapkan pentingnya saksi dalam transaksi keuangan. Islam mengajarkan bahwa saksi berfungsi sebagai penguat kesepakatan dan sebagai pengingat bagi kedua belah pihak apabila terjadi lupa atau sengketa di kemudian hari.

  1. Tidak Boleh Malas Mencatat

Dalam ayat ini, Allah juga mengingatkan agar tidak malas mencatat transaksi, baik kecil maupun besar. Ini menunjukkan bahwa semua bentuk transaksi yang memiliki implikasi hukum harus terdokumentasi, karena pencatatan adalah bentuk tanggung jawab dan akuntabilitas dalam bermuamalah.

  1. Pengecualian untuk Perdagangan Tunai

Meskipun pencatatan sangat dianjurkan, ayat ini memberikan pengecualian untuk transaksi perdagangan tunai yang berlangsung secara langsung.

Namun, tetap disarankan adanya saksi agar menghindari kemungkinan perselisihan di kemudian hari.

  1. Konsekuensi Jika Tidak Mencatat

Allah memperingatkan bahwa jika seseorang mengabaikan pencatatan dan persaksian dalam transaksi, hal tersebut dapat mengarah pada kefasikan atau penyimpangan dari nilai-nilai kejujuran dan keadilan.

Relevansi dengan Dunia Modern

Dalam konteks dunia modern, prinsip pencatatan transaksi ini sangat relevan dan telah diterapkan dalam berbagai bentuk:

  1. Akuntansi dan Pembukuan Keuangan – Setiap perusahaan dan institusi wajib memiliki sistem pembukuan yang transparan.
  2. Kontrak Perjanjian – Perjanjian bisnis dan hukum selalu dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat.
  3. Digitalisasi dan Blockchain – Teknologi modern memungkinkan pencatatan transaksi yang lebih aman dan tidak dapat diubah, sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.

 Islam Menjunjung Tinggi Transparansi dan Akuntabilitas

Ayat 282 dari Surat Al-Baqarah ini menjadi salah satu pedoman utama dalam sistem keuangan Islam, yang menekankan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap transaksi.

Islam telah memberikan konsep pencatatan transaksi jauh sebelum sistem akuntansi modern berkembang, yang menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam Al-Qur’an tetap relevan sepanjang zaman.

Maka dari itu, sebagai Muslim, kita dianjurkan untuk menerapkan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam transaksi kecil maupun besar.

Dengan adanya pencatatan yang rapi dan sistematis, kita dapat menjaga hak-hak semua pihak, menghindari perselisihan, dan menjalankan kehidupan ekonomi yang lebih adil dan bertanggung jawab. (lalu agus sarjana)

 

Example 120x600