Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Agama Rusak Bukan Karena Hinaan, Tetapi Perilaku Umatnya

182
×

Agama Rusak Bukan Karena Hinaan, Tetapi Perilaku Umatnya

Share this article

ppmindonesia.com.JakartaAgama adalah petunjuk hidup yang diberikan oleh Tuhan agar manusia dapat menjalani kehidupan dengan penuh kebajikan, keadilan, dan kasih sayang.

Ajaran agama yang murni selalu mengajak umatnya kepada kebaikan, menghindarkan dari kezaliman, serta menanamkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap aspek kehidupan.

Namun, meskipun agama memiliki ajaran yang luhur, realitas menunjukkan bahwa citra agama sering kali tercoreng bukan karena hinaan dari luar, tetapi karena perilaku umatnya sendiri.

Hinaan Tidak Merusak Agama, Tetapi Akhlak Buruk Umatnya Bisa

Sejarah telah mencatat bahwa sejak dahulu agama sering kali mendapat hinaan, kritik, bahkan penolakan dari berbagai pihak. Namun, hinaan tersebut tidak akan pernah mengurangi esensi agama itu sendiri. Sebaliknya, yang benar-benar dapat merusak agama adalah perilaku pemeluknya yang bertindak bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Ketika seorang pemeluk agama melakukan kekerasan atas nama Tuhan, menindas sesama manusia dengan dalih membela keyakinan, atau berperilaku korup meskipun rajin beribadah, maka di situlah agama menjadi kehilangan makna.

Orang luar tidak akan melihat ajaran agama melalui kitab suci atau khotbah para ulama, tetapi dari tindakan nyata umatnya. Jika perilaku umatnya penuh dengan kebencian, maka citra agama pun akan tercoreng.

Sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Mustofa Bisri, “Yang menghina agamamu, tidak merusak agamamu. Yang merusak agamamu justru perilakumu.” Kalimat ini menjadi pengingat bahwa tantangan terbesar dalam menjaga kemurnian agama bukanlah serangan dari luar, tetapi kesadaran dari dalam untuk selalu menjaga akhlak dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai agama.

Reaksi Berlebihan Hanya Mencoreng Nama Agama

Ketika ada yang mengkritik atau bahkan menghina agama, sering kali reaksi yang muncul bukanlah introspeksi, tetapi kemarahan yang meledak-ledak.

Demonstrasi penuh kebencian, ancaman, hingga tindakan kekerasan kerap terjadi dengan dalih membela agama. Padahal, tindakan tersebut justru semakin memperburuk citra agama di mata masyarakat luas.

Islam, misalnya, adalah agama yang mengajarkan kasih sayang dan perdamaian. Namun, jika umat Islam merespons kritik dengan cara yang tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut, maka kesan yang terbentuk justru sebaliknya.

Orang-orang akan melihat Islam sebagai agama yang identik dengan kekerasan, bukan agama yang mengajarkan kelembutan dan kebijaksanaan.

Sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Musuh Islam bukanlah agama Nasrani dan Yahudi, melainkan kebodohan umat Islam itu sendiri.”

Artinya, tantangan terbesar bukanlah orang-orang yang membenci agama, tetapi umat yang tidak memahami ajaran agamanya dengan baik sehingga mudah terprovokasi dan bertindak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman itu sendiri.

Tuhan Tidak Perlu Dibela dengan Kebencian, Tapi dengan Kemanusiaan

Dalam berbagai peristiwa, sering kali kita melihat bagaimana orang mengklaim membela Tuhan dengan cara yang justru bertentangan dengan ajaran-Nya.

Mereka membunuh, menindas, dan merampas hak orang lain atas nama agama. Padahal, Tuhan tidak membutuhkan pembelaan manusia dalam bentuk kekerasan. Sebaliknya, yang perlu dibela adalah nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Seperti yang dikatakan Gus Dur, “Tuhan tidak perlu dibela, Dia sudah Maha Segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.”

Maka, jika ingin membela agama, bukan dengan menyerang orang lain, tetapi dengan menegakkan keadilan. Jika ada seseorang yang ditindas, baik seagama maupun berbeda agama, maka membelanya adalah bentuk pengamalan nilai-nilai agama yang sesungguhnya.

Sucikan Nama Tuhan, Jangan Jadikan Takbir untuk Perpecahan

Nama Tuhan seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi kebaikan dan persatuan, bukan alat untuk memecah belah. Namun, mengapa masih ada orang yang mengumandangkan takbir untuk membenarkan kebencian, menghalalkan kekerasan, dan merusak persaudaraan?

Prof. KH. Quraish Shihab pernah mengingatkan, “Sucikan nama Tuhanmu, jangan takbir untuk perpecahan.” Ini berarti kita harus menjaga kesucian agama dari tindakan-tindakan yang merusak esensi ajarannya.

Takbir seharusnya menjadi ungkapan keagungan Tuhan, bukan digunakan sebagai seruan dalam permusuhan dan provokasi politik.

Agamakan Cinta, Bukan Hanya Mencintai Agama

Mencintai agama adalah hal yang baik, tetapi mencintai agama tanpa memahami esensinya bisa berbahaya. Sebagaimana Gus Dur berkata, “Jangan hanya berhenti mencintai agama, tapi agamakanlah cinta.”

Artinya, beragama tidak cukup hanya dengan fanatisme, tetapi harus menerapkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang dalam kehidupan.

Syekh Muhammad Said Al Jamal juga pernah mengatakan, “Jika orang-orang Muslim, Yahudi, Kristen, dan pemeluk agama lain memahami agama mereka dengan baik, maka akan ada satu agama: agama cinta, kedamaian, dan belas kasihan.”

Ini menunjukkan bahwa inti dari setiap agama adalah menebarkan kebaikan. Jika agama justru melahirkan kebencian, maka ada yang salah dalam cara beragama kita.

Kesimpulan

Agama tidak akan pernah rusak karena hinaan atau kritik dari luar. Yang benar-benar dapat merusak agama adalah perilaku umatnya sendiri yang menyimpang dari ajaran luhur.

Ketika umat beragama lebih sibuk membela Tuhan dengan amarah, tetapi lupa untuk berbuat baik kepada sesama, maka agama kehilangan maknanya.

Sebaliknya, jika umat beragama mampu menunjukkan akhlak yang baik, kebijaksanaan, dan kasih sayang, maka agama akan selalu dihormati.

Agama tidak membutuhkan pembelaan dalam bentuk kekerasan, tetapi dalam bentuk perilaku yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.

Sebab, di hadapan Tuhan, yang paling mulia bukanlah mereka yang paling lantang membela-Nya, tetapi mereka yang paling baik akhlaknya terhadap sesama manusia. (emha)

Example 120x600