Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Ekspor Menggila, Konsumen Menjerit: Ada Apa dengan Kelapa Kita

10
×

Ekspor Menggila, Konsumen Menjerit: Ada Apa dengan Kelapa Kita

Share this article

ppmindonesia.com.Jakarta- Pasca Lebaran 2025, masyarakat di berbagai daerah mengeluhkan harga kelapa yang melonjak tajam di pasaran. Dari rumah tangga hingga pedagang makanan kecil, semua merasakan dampaknya. Satu butir kelapa parut kini dijual hingga Rp25.000, jauh melampaui harga normal. Di balik lonjakan harga ini, tersingkap satu akar persoalan utama: ekspor kelapa yang menggila tanpa kendali.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengakui bahwa kenaikan harga kelapa domestik disebabkan oleh volume ekspor yang jauh melampaui kebutuhan dalam negeri. “Naiknya harga kelapa terjadi karena tingkat ekspornya lebih tinggi dari kebutuhan dalam negeri, sehingga semua diekspor dan akhirnya menjadi langka di pasar lokal,” ujarnya dalam keterangan pers, Kamis (17/4/2025).

Tujuan utama ekspor adalah negara-negara seperti China dan Vietnam, di mana harga kelapa tengah meroket. Hal ini membuat para pelaku usaha lebih tergiur menjual keluar negeri demi keuntungan besar, sementara pasokan dalam negeri terabaikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekspor kelapa bulat pada Februari 2025 melonjak 29,84 persen dibanding bulan sebelumnya.

Di tengah situasi ini, masyarakat kecil menjadi korban. Para pedagang di pasar tradisional, seperti Usin di Pasar Rawa Bebek, hanya bisa mengeluh saat harga kelapa naik drastis. “Ibu-ibu pada ngeluh, saya juga bingung. Pemerintah harus turun tangan. Jangan sampai rakyat susah karena pengusaha enak-enakan ekspor ke luar negeri,” keluhnya.

Tak hanya konsumen, petani kelapa pun ternyata belum merasakan manisnya harga tinggi. Abdul Gafur Ritonga, Ketua Asosiasi Petani Kelapa (ASPEK) Indonesia, menegaskan bahwa meskipun harga di pasar internasional naik, keuntungan tidak otomatis mengalir ke petani. Banyak di antara mereka yang tetap hidup dalam kesulitan karena rantai distribusi yang timpang dan tidak berpihak.

“Seharusnya petani senang dengan harga tinggi. Tapi kenyataannya mereka justru makin pusing. Kenaikan harga tidak serta-merta meningkatkan pendapatan mereka,” tegas Gafur. Ia mendesak agar pemerintah segera membenahi tata kelola kelapa dari hulu ke hilir, termasuk mempertemukan petani, eksportir, dan industri agar tercapai keadilan harga dan ketersediaan pasokan dalam negeri.

Dengan luas lahan perkebunan kelapa yang mencapai 3,34 juta hektare dan produksi sekitar 2,85 juta ton per tahun, Indonesia sejatinya mampu memenuhi kebutuhan nasional. Namun ketika orientasi ekspor tidak dikendalikan, ketimpangan pun terjadi. Di satu sisi, pasar internasional menikmati kelapa Indonesia; di sisi lain, rakyat sendiri menjerit karena harga tak lagi terjangkau.

Pemerintah telah menyatakan akan memediasi dialog antara petani, eksportir, dan pelaku industri. Namun lebih dari itu, dibutuhkan keberpihakan yang nyata terhadap kebutuhan domestik dan kesejahteraan petani—bukan sekadar respons sesaat saat harga sudah terlanjur melonjak.

Saat kelapa menjadi rebutan di pasar global, akankah kita terus membiarkan rakyat kita sendiri kesulitan mengakses komoditas yang dulu begitu akrab dengan dapur dan ladang mereka? Pertanyaan ini menjadi pengingat bahwa dalam setiap kebijakan ekspor, harus selalu ada ruang untuk berpikir: siapa yang benar-benar diuntungkan, dan siapa yang sedang terpinggirkan. (acank)

 

Example 120x600