ppmindonesia.com.Jakarta– Di tengah gelombang kehidupan yang tak pasti—dengan segala potensi manfaat dan mudharat yang silih berganti—manusia sering kali merasa perlu menggenggam kendali atas nasibnya sendiri.
Namun, Al-Qur’an mengajarkan sesuatu yang lebih dalam, lebih jujur, dan lebih menenteramkan: bahwa kendali hakiki bukanlah milik manusia, melainkan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Allah.
Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-A’raf ayat 188, saat Rasulullah sendiri diperintahkan untuk menyampaikan sebuah pernyataan keimanan yang mendalam:
قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُۗ وَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِۛ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْۤءُۛ اِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَࣖ ١٨٨
“Katakanlah Aku tidak berkuasa mendatangkan manfaat bagi diriku dan tidak pula menolak mudharat, kecuali dengan kehendak Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentu aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak akan ditimpa keburukan. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira bagi kaum yang beriman.”
Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan Nabi, sosok manusia pilihan yang paling dekat dengan wahyu, pun tidak memiliki kuasa atas nasibnya sendiri. Ia tunduk pada kehendak Allah, sepenuhnya menyadari batas-batas dirinya sebagai hamba. Maka bagaimana mungkin kita, manusia biasa, bisa merasa memiliki kuasa penuh atas hidup ini?
Dalam Surah Al-Ahzab ayat 17, Allah menegaskan dengan pertanyaan yang menggugah:
قُلْ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَعْصِمُكُمْ مِّنَ اللّٰهِ اِنْ اَرَادَ بِكُمْ سُوْۤءًا اَوْ اَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةًۗ وَلَا يَجِدُوْنَ لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا ١٧
“Katakanlah: Siapakah yang dapat melindungi kamu dari Allah jika Dia menghendaki bencana menimpamu, atau menghendaki rahmat bagimu?”
Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, tetapi sebuah ajakan untuk merenung secara jujur. Jika Allah telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada satu pun yang dapat menghalangi. Begitu juga sebaliknya, jika Allah berkehendak memberikan rahmat, tidak ada makhluk atau sistem apa pun yang mampu menahannya. Maka, mengapa masih ada ketergantungan pada selain-Nya?
Kesadaran ini dilengkapi dengan firman-Nya dalam Surah Yunus ayat 61, yang mengingatkan bahwa:
“Dan tidaklah kamu berada dalam suatu keadaan, dan tidak membaca sesuatu dari Al-Qur’an, dan tidak mengerjakan suatu pekerjaan pun, melainkan Kami menyaksikanmu ketika kamu melakukannya.”
Allah selalu hadir. Ia menyaksikan setiap detik hidup kita, setiap helaan napas, setiap langkah, dan setiap niat yang tersembunyi. Tidak ada yang luput dari pengawasan-Nya. Maka, betapa agung dan tenteram hidup ini jika disandarkan kepada-Nya secara total, dalam keikhlasan dan keyakinan yang dalam.
Kepasrahan kepada Allah bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan tertinggi. Ia bukan bentuk keputusasaan, melainkan puncak kesadaran akan realitas bahwa segala yang terjadi adalah bagian dari kehendak dan ilmu-Nya. Kepasrahan adalah jembatan menuju kedamaian batin, karena ia membebaskan kita dari beban untuk mengendalikan sesuatu yang memang bukan wewenang kita.
Namun, kepasrahan yang sejati tidak akan mungkin tumbuh tanpa petunjuk. Dan petunjuk itu adalah Al-Qur’an. Hanya dengan memahami pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya, manusia dapat menumbuhkan sikap berserah yang benar—bukan pasif, tetapi aktif dan berilmu; bukan menyerah, tetapi yakin dan mantap melangkah dalam ridha-Nya.
Oleh karena itu, merenungi ayat-ayat ini seharusnya menjadi pemantik untuk menumbuhkan ketergantungan yang sehat dan utuh kepada Allah. Sebuah ketergantungan yang melahirkan kekuatan spiritual, ketenangan jiwa, dan keikhlasan dalam menghadapi segala takdir kehidupan.(husni fahro)