ppmindonesia.com.Jakarta– Di satu sisi, pemerintah gencar menggaungkan swasembada pangan sebagai prioritas nasional. Di sisi lain, muncul wacana kontroversial yang justru dapat melemahkan semangat dan pondasi dari cita-cita tersebut.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Sarasehan Ekonomi pada 8 April 2025 lalu mengenai penghapusan kuota impor pangan telah memantik kebingungan publik—terutama mereka yang bergiat di sektor pertanian dan peternakan.
Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan bahwa siapa pun boleh mengimpor komoditas pangan, terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti daging. Kebijakan kuota dianggap lebih banyak menguntungkan segelintir perusahaan besar, dan keterbukaan pasar diharapkan mampu menciptakan persaingan yang lebih sehat dan merata. Namun, dalam kenyataan yang lebih kompleks, gagasan ini bisa menjadi bumerang bagi petani lokal dan program swasembada yang selama ini tengah dibangun dengan susah payah.
Swasembada: Komitmen atau Retorika?
Sejak awal masa kepemimpinan Presiden Prabowo, pemerintah menegaskan komitmennya pada swasembada pangan. Program seperti Makan Bergizi Gratis menjadi pendorong untuk memperkuat produksi dalam negeri, khususnya pada komoditas penting seperti beras, jagung, gula, dan garam. Bahkan, pada 2025 pemerintah menyatakan telah menghentikan impor beras—sebuah capaian simbolik dalam membangun kemandirian.
Namun, jika benar kebijakan impor tanpa kuota diterapkan, maka pesan yang ditangkap publik menjadi sangat kontradiktif. Bagaimana mungkin negara mendorong swasembada, tetapi pada saat yang sama membuka pintu impor seluas-luasnya, tanpa batas, dan tanpa perlindungan bagi produsen lokal? Kebijakan seperti ini seolah menegaskan bahwa negara tidak percaya pada kemampuannya sendiri untuk membangun ketahanan pangan dari dalam negeri.
Banjir Impor dan Ancaman Terhadap Petani
Guru Besar IPB University, Prof. Dwi Andreas Santosa, mengingatkan bahwa Indonesia sudah terlalu longgar dalam urusan bea masuk pangan. Untuk 12 komoditas pangan utama, tarif bea masuk hanya berkisar 0–10 persen. Hal ini telah mendorong tren impor yang terus naik: dari 22,56 juta ton pada 2014 menjadi 34,35 juta ton pada 2024.
Penghapusan kuota akan memperparah situasi ini. Komoditas luar negeri akan membanjiri pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan hasil petani lokal. Dalam iklim persaingan yang tidak adil, petani dan peternak dalam negeri akan terpinggirkan. Harga jual turun, keuntungan menipis, semangat produksi menurun. Pada akhirnya, ketergantungan pada impor semakin besar, dan proyek swasembada pun terancam kandas.
Paradoks dalam Kebijakan Publik
Kebijakan impor tanpa kuota tidak hanya menimbulkan kekhawatiran ekonomi, tetapi juga menggambarkan inkonsistensi dalam arah kebijakan negara. Pada satu sisi, pemerintah mengusung kedaulatan pangan dan perlindungan terhadap petani. Pada sisi lain, kebijakan liberalisasi impor yang ekstrem malah dibiarkan menyapu bersih semua pondasi perlindungan tersebut.
Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF, Abra PG Talattov, menyampaikan bahwa kebijakan semacam ini berisiko tinggi dan melanggar amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Keduanya secara tegas mengatur bahwa impor hanya dilakukan jika produksi dalam negeri tidak mencukupi dan harus melalui koordinasi antarkementerian.
Kebutuhan akan Arah yang Konsisten dan Terukur
Negara seharusnya tidak membuat kebijakan pangan berdasarkan tekanan eksternal seperti tarif resiprokal dari AS, tetapi berdasarkan kepentingan jangka panjang rakyat dan kemandirian ekonomi nasional. Respons terhadap tantangan global harus disusun dengan analisis yang cermat, strategi yang berlapis, dan penguatan institusi produksi lokal.
Impor memang kadang diperlukan, terutama untuk komoditas yang sulit diproduksi di dalam negeri seperti gandum atau untuk kebutuhan darurat. Namun, membuka impor secara bebas tanpa kendali adalah bentuk pengabaian terhadap sektor yang selama ini menopang hidup jutaan keluarga di desa—yakni pertanian.
Menata Ulang Kompas Pangan Nasional
Arah kebijakan pangan harus kembali kepada asas keberlanjutan, keadilan, dan kemandirian. Pemerintah perlu memperkuat neraca komoditas sebagai alat kontrol, memperjelas peta kebutuhan impor, serta memastikan bahwa setiap keputusan strategis tidak mengorbankan petani sebagai aktor utama dalam sistem pangan nasional.
Tanpa itu semua, swasembada pangan hanya akan menjadi slogan yang berlalu di tengah banjir impor. Dan petani? Mereka akan kembali menanggung beban dari kebijakan yang membingungkan ini.(acank)
Sumber